(Gambar Istana Datu Luwu, sumber: azharmustamin.blogspot.com)
Tidak banyak tulisan mengenai awal berkembangnya kota Palopo. Sejarah
Kota Palopo di info-palopo.com hanya mengurai dari sudut kesejarahan
administrasi. Sudut budaya-sejarah Luwu, belum dikaji lebih dalam.
Ternyata, dalam Buku “Ringkasan Sejarah Luwu: Bumi Sawerigading, Tana
Luwu Mappatuwo” yang disusun Sarita Pawiloy, secara sederhana diuraikan
awal berkembangnya Kota Palopo. Palopo berkembang di awal-awal kerajaan
Islam Luwu tumbuh. Ketika itu Raja Luwu La Patiware Sultan Muhammad
wafat dan digantikan anak mattola kedua(putera mahkota kedua),
Patipasaung (1615-1637). Berdasarkan adat Luwu, anak mattola urutan
pertama adalah Patiraja. Namun karena karakternya yang tidak terlalu
disukai oleh kalangan bangsawan Islam (yang pada saat itu Islam adalah
spirit Kerajaan Luwu), maka Patiraja tidak dipilih menjadi raja.Terangkatnya adik Patiraja (Patipasaung) menjadi raja menimbulkan gejolak dalam Istana Luwu di Pattimang, Malangke. Beberapa petinggi istana yang mendukung Patiraja menolak keputusan adat yang menaikkan anak mattola kedua. Akhirnya Patiraja meninggalkan Pattimang dan hijrah ke Kamanre (eks pusat Kerajaan Luwu masa Dewaraja yang berkuasa sekitar 1530). Di Kamanre, Patiraja mengumumkan dirinya sebagai Datu Luwu dan diterima oleh seluruh Kemadikaan Ponrang (Cilellang, Bajo, Noling hingga Larompong). Dengan demikian, pada saat itu, ada dua pusat kerajaan Luwu (Ware’), yaitu yang pertama Luwu wilayah pengaruh Malangke (Baebunta hingga Poso), yang kedua Luwu wilayah pengaruh Ponrang (berpusat di Kamanre) meliputi Bajo, Ranteballa, Larompong sampai Akkotongeng. Sedangkan Kemadikaan Bua (meliputi Kolaka, Luwu Tenggara dan pula Palopo/Libukang) netral. Palopo kala itu merupakan perkampungan nelayan yang berpusat di Libukang.
Pada tahun 1616, perang saudara Luwu versi
Pattimang versus Luwu versi Kamanre pecah. Perang ini terjadi selama
kurang lebih 4 tahun, yang kemudian dikenal dengan Perang antara Utara
dan Selatan. Hingga pada 1619, Maddika Bua berinisiatif untuk mencari
solusi atas fenomena ini. Maka pada saat panen raya di Bua, Patiraja dan
Patipasaung diundang oleh Maddika Bua. Mereka dibuatkan Baruga dengan 2
pintu masuk (utara-selatan). Pintu utara akan dimasuki oleh
Patipasaung, dan pintu selatan oleh Patiraja. Mereka dipertemukan oleh
Maddika Bua di ruang tengah baruga. Mereka kaget, lebih-lebih pada saat
keduanya diserahi badik oleh Maddika Bua. Di ruang tersebut, hadir pula
Madika Ponrang dan Makole Baebunta, yang kemudian oleh Madika Bua,
beliau mempersilahkan Patipasaung dan Patiraja untuk bertarung. Madika
Bua berkata “Wahai kedua junjungan kami, sudah tahunan rakyat saling
membunuh, janda telah banyak, anak yatim sudah tidak terbilang lagi. Ini
adalah akibat Luwu diperintah dua raja. Kami hanya menghendaki
seorang”.
Pada saat itu, Patiraja insyaf. Ia berkata
kepada Patipasaung “Wahai adikku. Engkaulah yang disukai oleh orang
banyak. Aku ini, abangmu telah hanyut dalam gelora nafsu kekuasaan. Aku
khilaf. Sebagian rakyat telah aku ikutkan dalam diriku. Terimalah badik
ini, dan terima pula penduduk Kamanre seluruhnya ke dalam Luwu yang
damai, tenteram dan sejahtera. Biarlah aku abangmu kembali ke Gowa di
mana kita dilahirkan. Siapa tahu, Dewata Allah Taala menerima diriku di
tanah leluhur kita”..
Inilah peristiwa yang kemudian menyatukan kembali Luwu. Patipasaung
kemudian memindahkan Ware’ ke Palopo yang termasuk wilayah Bua. Ia
kemudian pula mengukuhkan ‘anak telluE’ sebagai pilar utama Luwu.
Patipasaung menata struktur pemerintahan Luwu, dimana kadhi berperan
penting. Perpindahan pusat kerjaan Luwu ke Palopo dilanjutkan dengan
pendirian Masjid Jami’. Masjid Jami’ yang dibangun 1619 kemudian
dinyatakan oleh masyarakat Luwu sebagai pusat Palopo, bahkan posi’ tana,
dan Ka’bah di Mekkah sebagai palisu tana. Arsitektur Kota Palopo ditata
dengan pendekatan agar suasana ‘marowa’ tercipta. Empat puluh depa dari
masjid dibangun pasar. Istana kediaman Datu juga 40 depa dari masjid.
Jarak pasar dengan istana sekitar 80 depa. Dan antara ketiga bangunan
itu adalah lapangan (di tengah). Arsitektur kota serupa kemudian
dianjurkan di setiap wilayah kampung-kampung di Luwu. Demikianlah,
Palopo kemudian menjadi pusat kerajaan Luwu hingga penjajah datang.
Sejak pindahnya pusat kedatuan ke Palopo, sejak itu
pula Palopo menjadi barometer perkembangan Luwu. Masyarakatnya bangga
menjadi To Ware. Pada tahun 1900, penduduk kota Palopo
berjumlah sekitar 12.000 jiwa dari keseluruhan penduduk Luwu yang kurang
lebih berjumlah 400.000 jiwa (termasuk Poso dan Kolaka). Palopo terdiri
atas Kampung Tappong (kampung paling ramai dengan 120 rumah),
Mangarabombang, PonjalaE (100 rumah), Campa, Bone, Parumpang,
Amassangeng, Surutanga, Pajalesang, Bola Sada, Batupasi, Binturu (7
rumah), Tompotikka, WaruE, Songka, Penggoli, Luminda, Kampong Beru,
Balandai (7 rumah), Rampuang dan Pulau Libukang. Pada masa itu, Latana datu Luwu, Andi Kambo adalah rumah panggung kayu bertiang 88 buah (LangkanaE). Bangunan
itu dirobohkan oleh Belanda, dan digantikan dengan bangunan
berarsitektur eropa pada tahun 1920 (hampir bersamaan dengan Rumah
Sakit).
Sumber :zulhamhafid.wordpress.com
0 komentar:
Posting Komentar