*Sejarah pembangunan*
Sesuai
namanya, Masjid Jami Tua Palopo, masjid ini berusia sangat tua,
diperkirakan berdiri pada tahun 1604 M. Artinya, usia masjid ini sudah
lebih dari empat abad. Masjid Palopo merupakan masjid kerajaan yang
didirikan ketika Kerajaan Luwu sedang berada dalam masa kejayaannya.
Saat itu, yang berkuasa di Luwu adalah Datu Payung Luwu XVI Pati Pasaung
Toampanangi Sultan Abdullah Matinroe. Sejarahnya, ketika ia naik
menggantikan ayahnya pada tahun 1604 M, ia memindahkan ibukota kerajaan
dari Patimang ke Ware, dengan alasan Ware berada di pantai dan lebih
dekat dengan pelabuhan, sehingga aktifitas ekonomi bisa lebih mudah
dilakukan. Sumber sejarah lain ada juga yang mengkaitkan perpindahan
ibukota kerajaan ini dengan kepentingan untuk penyebaran Islam. Jika
pendapat ini benar, maka perpindahan tersebut juga menandakan bahwa
pengaruh Islam semakin menguat dalam Kerajaan Luwu. Hal ini bisa dilihat
dari konstruksi kompleks ibukota kerajaan yang baru, di mana masjid
dan istana dibangun berdekatan membentuk satu komplek kerajaan. Satu
unsur lagi yang dibangun dalam kompleks kerajaan Luwu adalah lapangan
luas yang terbuka (alun-alun). Struktur dan tata letak pusat
pemerintahan yang seperti ini mirip dengan struktur dan tata letak
kerajaan Islam di Jawa. Seiring dengan penamaan masjid ini dengan
Masjid Palopo, daerah tersebut kemudian juga disebut sebagai daerah
Palopo. Maka, sejak tahun 1604 M tersebut, daerah Ware ini berubah nama
menjadi Palopo. Kata Palopo berasal dari bahasa Bugis dan Luwu yang
memiliki dua arti. Arti pertama adalah penganan gula ketan dan air gula
merah yang dicampur; sedangkan arti yang kedua adalah memasukkan pasak
ke dalam tiang bangunan. Kedua makna kata ini memiliki relasi dengan
proses pembangunan Masjid Jami Tua ini. Oleh sebab itulah, timbul
kemudian inspirasi untuk menamakan masjid yang dibangun tersebut dengan
Palopo. Demikianlah sejarah asal usul munculnya kata Palopo.
*Lokasi*
Masjid Jami Tua Palopo terletak di kota Palopo, salah satu kota yang terdapat di Sulawesi Selatan, Indonesia.
*Luas*
Luas
Masjid Jami Tua Palopo 15x15 meter. dengan tebal dinding 0,94 m yang
terbuat dari batu cadas yang direkatkan dengan putih telur. Denahnya
berbentuk segi empat yang agaknya dipengaruhi bentuk denah candi-candi
di Jawa.Bentuk segi empat pada Masjid Tua Palopo mengandung makna yang sama dengan bentuk segi empat pada bangunan pendopo atau candi candi, yakni mengandung makna filosofis dan fungsional. Yang pertama berarti bahwa bentuk geometri tersebut sebetulnya. Sedangkan, makna yang kedua melambangkan persamaan dan kesetaraan siapa saja yang berada di dalamnya
*Arsitektur*
Arsitektur
Masjid Jami Tua Palopo sangat unik, kemungkinan mendapat pengaruh dari
konstruksi candi Hindu dan Budha di Jawa. Keunikan masjid ini tampak
dari bahan konstruksi dindingnya yang berasal dari batu cadas yang
dibentuk menjadi blok-blok sangat tebal segi empat. Denah masjid yang
berbentuk segi empat tampaknya juga terpengaruh oleh konstruksi candi
Jawa. Pada dinding bagian bawah, terdapat hiasan berupa molding
penyederhanaan bunga lotus, mirip dengan hiasan di candi Borobudur.
Pada dinding bagian atas juga terdapat motif alur yang mirip dengan
hiasan candi di Jawa. Dari aspek keterpengaruhan dengan konstruksi
candi, tampaknya Masjid Jami Tua ini merupakan satu-satunya di
Indonesia. Pada bagian atap, ada pendapat yang mengatakan bahwa,
konstruksi masjid ini dipengaruhi oleh atap joglo Jawa yang berbentuk
piramidal bertumpuk tiga, sering disebut tajug. Masjid Jami Tua Palopo menggunakan atap tajug
ini, dengan kemiringan makin ke atas makin curam dan pada puncaknya
berbentuk piramidal. Dua tumpang atap pada bagian bawah disangga oleh
empat tiang, dalam konstruksi Jawa sering disebut sokoguru. Sedangkan atap piramidal paling atas disangga oleh kolom (pilar) tunggal dari kayu cinna gori (cinaduri)
yang berdiameter 90 centimeter. Pada puncak atap masjid, terdapat
hiasan dari keramik berwarna biru yang diperkirakan berasal dari China.
Namun, ada pendapat lain yang mengatakan bahwa, sebenarnya konstruksi
tersebut bukan terpengaruh Jawa, tapi melambangkan aspek simbolisme
lokal berupa nilai-nilai yang menjadi inti pangngadereng
dalam kebudayaan Bugis, yang berakar pada filsafat kosmogonisnya. Hal
ini bisa dilihat pada struktur bangunan masjid secara keseluruhan yang
terdiri dari tiga susunan yang mengikuti konsep rumah panggung. Konsep
tiga susunan ini juga konsisten diterapkan pada bagian lainnya, seperti
atap dan hiasannya yang terdiri dari tiga susun; tiang penyangga yang
juga terdiri dari tiga susun yaitu pallanga (umpak), alliri possi (tiang pusat) dan soddu;
dinding tiga susun yang diantarai oleh bentuk pelipit; dan pewarnaan
tiang bangunan yang bersusun tiga dari atas ke bawah, dimulai dari warna
hijau, putih dan coklat. Selain aspek di atas, konsepsi wara (pusat) dan palili
(yang mengelilingi pusat) merupakan unsur yang sangat penting dalam
arsitektur masjid tersebut, yang terrefleksi pada tiang pusat (alliri posi) yang
dikelilingi oleh empat tiang pembantu. Aspek simbolisme lain yang juga
tampak dalam masjd ini adalah tujuh buah jendela yang berada di sisi
kanan dan kiri dinding masjid yang melambangkan tujuh hari dalam
seminggu. Pada jendela tersebut, terdapat pula terali besi yang
berbentuk tegak, melambangkan jumlah shalat wajib dalam sehari semalam.
Pada dinding bagian depan, terdapat pula tujuh bukaan, enam berbentuk
jendela, masing-masing tiga di sisi kiri dan tiga di sisi kanan, dan
satu berbentuk pintu yang berada di tengah untuk masuk jamaah. Dari
uraian di atas, tampak jelas bahwa konsep estetika yang diterapkan pada
Masjid Jami Tua Palopo ini mengacu pada sistem pengetahuan, kosmogonis
dan norma masyarakat Bugis; pemilihan bahan dan konstruksi bangunan
juga masih dilatari oleh unsur lokal, kecuali bahan untuk konstruksi
dinding dari batu yang lebih mirip konstruksi candi Hindu, dan mihrab
yang berbentuk ceruk, mirip dengan kontruksi yang terdapat pada
candi-candi. Dari situ, bisa disimpulkan bahwa, di samping unsur lokal
yang masih sangat kuat, masjid ini juga dipengaruhi oleh unsur asing,
yaitu konstruksi candi Hindu di Jawa. Kesimpulannya, ada tiga unsur
penting yang bersebati dalam konstruksi Masjid Jami Tua ini, yaitu
unsur lokal Bugis, Hindu dan Islam. Kenyataan tersebut menunjukkan
bahwa, masyarakat Bugis di Palopo sangat terbuka pada unsur luar,
sehingga terjadi proses akulturasi dan inovasi. Dari sudut pandang
sejarah dan budaya, terjadinya akulturasi dan inovasi merupakan bagian
dari usaha untuk menghindari konflik, antara masyarakat lokal yang
masih kuat menganut kepercayaan lama yang disebut attoriolong,
dengan unsur Islam yang mulai menyebar luas di daerah tersebut.
Sebagaimana diketahui, dalam unsur Islam tersebut juga terdapat
unsur-unsur kebudayaan Hindu yang memang sudah sangat berakar di
Nusantara. Oleh karena itu, unsur Hindu tersebut juga muncul dalam
arsitektur Masjid Jami Tua Palopo ini. Dari proses akulturasi inilah,
kemudian terjadi perubahan dalam konsep desain dan arsitektur Bugis di
Palopo.
*Perencana*
Belum
diketahui siapa perancang Masjid Jami Tua ini, di samping karena tidak
adanya data sejarah tertulis, sejarah lisan yang berkembang di
masyarakat juga tidak banyak menerangkan mengenai proses pembangunan
Masjid Jami Tua ini.
*Renovasi*
Sejauh
ini telah dilakukan beberapa kali renovasi untuk perbaikan masjid.
Renovasi pertama pada 1700 M dengan perbaikan pada lantai. Kedua, pada
1951, mengganti lantai yang lama dengan lantai dari tegel yang
didatangkan dari Singapura. Renovasi ketiga pada 1981 untuk memperbaiki
seluruh bagian masjid yang rusak. Sedangkan pada renovasi keempat dan
kelima dengan menambahkan luas bangunan hingga seperti yang sekarang
ini. Lahan masjid ini seluas 1.680 m².Bentuk arsitektur Masjid Tua Palopo secara keseluruhan menunjukkan nilai-nilai kebudayaan lokal yang berakulturasi dengan nilai-nilai dari luar, terutama Islam dan Jawa. Meski demikian, bagian inti dari kebudayaan setempat, tidak berubah.
Sumber : Dewa Copas
0 komentar:
Posting Komentar