FB Lke

Masjid Jami Tua Palopo

Posted by emontok On Kamis, 29 November 2012 0 komentar















*Sejarah pembangunan*
Sesuai namanya, Masjid Jami Tua Palopo, masjid ini berusia sangat tua, diperkirakan berdiri pada tahun 1604 M. Artinya, usia masjid ini sudah lebih dari empat abad. Masjid Palopo merupakan masjid kerajaan yang didirikan ketika Kerajaan Luwu sedang berada dalam masa kejayaannya. Saat itu, yang berkuasa di Luwu adalah Datu Payung Luwu XVI Pati Pasaung Toampanangi Sultan Abdullah Matinroe. Sejarahnya, ketika ia naik menggantikan ayahnya pada tahun 1604 M, ia memindahkan ibukota kerajaan dari Patimang ke Ware, dengan alasan Ware berada di pantai dan lebih dekat dengan pelabuhan, sehingga aktifitas ekonomi bisa lebih mudah dilakukan. Sumber sejarah lain ada juga yang mengkaitkan perpindahan ibukota kerajaan ini dengan kepentingan untuk penyebaran Islam. Jika pendapat ini benar, maka perpindahan tersebut juga menandakan bahwa pengaruh Islam semakin menguat dalam Kerajaan Luwu. Hal ini bisa dilihat dari konstruksi kompleks ibukota kerajaan yang baru, di mana masjid dan istana dibangun berdekatan membentuk satu komplek kerajaan. Satu unsur lagi yang dibangun dalam kompleks kerajaan Luwu adalah lapangan luas yang terbuka (alun-alun). Struktur dan tata letak pusat pemerintahan yang seperti ini mirip dengan struktur dan tata letak kerajaan Islam di Jawa. Seiring dengan penamaan masjid ini dengan Masjid Palopo, daerah tersebut kemudian juga disebut sebagai daerah Palopo. Maka, sejak tahun 1604 M tersebut, daerah Ware ini berubah nama menjadi Palopo. Kata Palopo berasal dari bahasa Bugis dan Luwu yang memiliki dua arti. Arti pertama adalah penganan gula ketan dan air gula merah yang dicampur; sedangkan arti yang kedua adalah memasukkan pasak ke dalam tiang bangunan. Kedua makna kata ini memiliki relasi dengan proses pembangunan Masjid Jami Tua ini. Oleh sebab itulah, timbul kemudian inspirasi untuk menamakan masjid yang dibangun tersebut dengan Palopo. Demikianlah sejarah asal usul munculnya kata Palopo.

Sebagian masyarakat percaya bahwa bagi orang yang datang ke Kota Palopo, belum dikatakan resmi menginjakkan kaki di kota ini apabila belum menyentuh tiang utama Masjid Tua Palopo yang terbuat dari pohon Cinaduri, serta dinding tembok yang menggunakan bahan campuran dari putih telur. Oleh karena itu, masjid ini tidak pernah sepi dari jemaah, khususnya pada bulan Ramadhan, setiap selesai shalat dhuhur hingga menjelang berbuka puasa, biasanya para jamaah tetap tinggal di masjid untuk mengaji, tadarrus Alquran, dan berzikir. Jamaah yang datang bukan hanya warga Kota Palopo, tetapi banyak juga yang datang dari kabupaten tetangga, seperti Luwu, Luwu Utara, Sidrap, dan Wajo.
*Lokasi*
Masjid Jami Tua Palopo terletak di kota Palopo, salah satu kota yang terdapat di Sulawesi Selatan, Indonesia.
*Luas*
Luas Masjid Jami Tua Palopo 15x15 meter. dengan tebal dinding 0,94 m yang terbuat dari batu cadas yang direkatkan dengan putih telur. Denahnya berbentuk segi empat yang agaknya dipengaruhi bentuk denah candi-candi di Jawa.
Bentuk segi empat pada Masjid Tua Palopo mengandung makna yang sama dengan bentuk segi empat pada bangunan pendopo atau candi candi, yakni mengandung makna filosofis dan fungsional. Yang pertama berarti bahwa bentuk geometri tersebut sebetulnya. Sedangkan, makna yang kedua melambangkan persamaan dan kesetaraan siapa saja yang berada di dalamnya 


*Arsitektur*
Arsitektur Masjid Jami Tua Palopo sangat unik, kemungkinan mendapat pengaruh dari konstruksi candi Hindu dan Budha di Jawa. Keunikan masjid ini tampak dari bahan konstruksi dindingnya yang berasal dari batu cadas yang dibentuk menjadi blok-blok sangat tebal segi empat. Denah masjid yang berbentuk segi empat tampaknya juga terpengaruh oleh konstruksi candi Jawa. Pada dinding bagian bawah, terdapat hiasan berupa molding penyederhanaan bunga lotus, mirip dengan hiasan di candi Borobudur. Pada dinding bagian atas juga terdapat motif alur yang mirip dengan hiasan candi di Jawa. Dari aspek keterpengaruhan dengan konstruksi candi, tampaknya Masjid Jami Tua ini merupakan satu-satunya di Indonesia. Pada bagian atap, ada pendapat yang mengatakan bahwa, konstruksi masjid ini dipengaruhi oleh atap joglo Jawa yang berbentuk piramidal bertumpuk tiga, sering disebut tajug. Masjid Jami Tua Palopo menggunakan atap tajug ini, dengan kemiringan makin ke atas makin curam dan pada puncaknya berbentuk piramidal. Dua tumpang atap pada bagian bawah disangga oleh empat tiang, dalam konstruksi Jawa sering disebut sokoguru. Sedangkan atap piramidal paling atas disangga oleh kolom (pilar) tunggal dari kayu cinna gori (cinaduri) yang berdiameter 90 centimeter. Pada puncak atap masjid, terdapat hiasan dari keramik berwarna biru yang diperkirakan berasal dari China. Namun, ada pendapat lain yang mengatakan bahwa, sebenarnya konstruksi tersebut bukan terpengaruh Jawa, tapi melambangkan aspek simbolisme lokal berupa nilai-nilai yang menjadi inti pangngadereng dalam kebudayaan Bugis, yang berakar pada filsafat kosmogonisnya. Hal ini bisa dilihat pada struktur bangunan masjid secara keseluruhan yang terdiri dari tiga susunan yang mengikuti konsep rumah panggung. Konsep tiga susunan ini juga konsisten diterapkan pada bagian lainnya, seperti atap dan hiasannya yang terdiri dari tiga susun; tiang penyangga yang juga terdiri dari tiga susun yaitu pallanga (umpak), alliri possi (tiang pusat) dan soddu; dinding tiga susun yang diantarai oleh bentuk pelipit; dan pewarnaan tiang bangunan yang bersusun tiga dari atas ke bawah, dimulai dari warna hijau, putih dan coklat. Selain aspek di atas, konsepsi wara (pusat) dan palili (yang mengelilingi pusat) merupakan unsur yang sangat penting dalam arsitektur masjid tersebut, yang terrefleksi pada tiang pusat (alliri posi) yang dikelilingi oleh empat tiang pembantu. Aspek simbolisme lain yang juga tampak dalam masjd ini adalah tujuh buah jendela yang berada di sisi kanan dan kiri dinding masjid yang melambangkan tujuh hari dalam seminggu. Pada jendela tersebut, terdapat pula terali besi yang berbentuk tegak, melambangkan jumlah shalat wajib dalam sehari semalam. Pada dinding bagian depan, terdapat pula tujuh bukaan, enam berbentuk jendela, masing-masing tiga di sisi kiri dan tiga di sisi kanan, dan satu berbentuk pintu yang berada di tengah untuk masuk jamaah. Dari uraian di atas, tampak jelas bahwa konsep estetika yang diterapkan pada Masjid Jami Tua Palopo ini mengacu pada sistem pengetahuan, kosmogonis dan norma masyarakat Bugis; pemilihan bahan dan konstruksi bangunan juga masih dilatari oleh unsur lokal, kecuali bahan untuk konstruksi dinding dari batu yang lebih mirip konstruksi candi Hindu, dan mihrab yang berbentuk ceruk, mirip dengan kontruksi yang terdapat pada candi-candi. Dari situ, bisa disimpulkan bahwa, di samping unsur lokal yang masih sangat kuat, masjid ini juga dipengaruhi oleh unsur asing, yaitu konstruksi candi Hindu di Jawa. Kesimpulannya, ada tiga unsur penting yang bersebati dalam konstruksi Masjid Jami Tua ini, yaitu unsur lokal Bugis, Hindu dan Islam. Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa, masyarakat Bugis di Palopo sangat terbuka pada unsur luar, sehingga terjadi proses akulturasi dan inovasi. Dari sudut pandang sejarah dan budaya, terjadinya akulturasi dan inovasi merupakan bagian dari usaha untuk menghindari konflik, antara masyarakat lokal yang masih kuat menganut kepercayaan lama yang disebut attoriolong, dengan unsur Islam yang mulai menyebar luas di daerah tersebut. Sebagaimana diketahui, dalam unsur Islam tersebut juga terdapat unsur-unsur kebudayaan Hindu yang memang sudah sangat berakar di Nusantara. Oleh karena itu, unsur Hindu tersebut juga muncul dalam arsitektur Masjid Jami Tua Palopo ini. Dari proses akulturasi inilah, kemudian terjadi perubahan dalam konsep desain dan arsitektur Bugis di Palopo.
*Perencana*
Belum diketahui siapa perancang Masjid Jami Tua ini, di samping karena tidak adanya data sejarah tertulis, sejarah lisan yang berkembang di masyarakat juga tidak banyak menerangkan mengenai proses pembangunan Masjid Jami Tua ini.
*Renovasi*
Sejauh ini telah dilakukan beberapa kali renovasi untuk perbaikan masjid. Renovasi pertama pada 1700 M dengan perbaikan pada lantai. Kedua, pada 1951, mengganti lantai yang lama dengan lantai dari tegel yang didatangkan dari Singapura. Renovasi ketiga pada 1981 untuk memperbaiki seluruh bagian masjid yang rusak. Sedangkan pada renovasi keempat dan kelima dengan menambahkan luas bangunan hingga seperti yang sekarang ini. Lahan masjid ini seluas 1.680 m².
Bentuk arsitektur Masjid Tua Palopo secara keseluruhan menunjukkan nilai-nilai kebudayaan lokal yang berakulturasi dengan nilai-nilai dari luar, terutama Islam dan Jawa. Meski demikian, bagian inti dari kebudayaan setempat, tidak berubah.

Sumber : Dewa Copas

0 komentar:

Posting Komentar

Cool B themes Slider