"Menurut
penelitian, anti oksidan yang terkandung dalam teh rosella lebih tinggi
dari pada kumis kucing yang sudah teruji secara klinis mampu meluruhkan
batu ginjal. Melelui penelitian pula didapati 51 % antosianin dan 24 %
anti oksidan dal
am larutan 300 ml air
yang diseduh dengan bunga rosella yang sudah dikeringkan. Antosianin
dalam rosella dapat menghambat dan mematikan sel kanker darah merah atau
leukemia. Dan secara tradisional sudah banyak warga masyarakat yang
memanfaatkan bunga rosella untuk menurunkan darah tinggi. Jika meminum
seduhan bunga rosella secara teratur, maka kekakuan saraf dan ketegangan
leher akibat hipertensi lama-kelamaan akan menghilang. "
Sumber : Facebook (Belajar Hidup Sehat)
"
Ciplukan (Physalis minina) merupakan tumbuhan liar, berupa semak/perdu
yang rendah dengan nama lokal Morel berry (Inggris), Ciplukan
(Indonesia), Ceplukan (Jawa); Cecendet (Sunda), Yor-yoran (Madura),
Lapinonat (Seram); Angket, Kepok-kepo
kan,
Keceplokan (Bali), Dedes (Sasak); Leletokan (Minahasa). Salah satu
manfaatnya untuk mengobati ayan/epilepsi. Caranya ambil 8-10 butir buah
ciplukan yang sudah dimasak dimakan setiap hari secara rutin."
"Buah
Ciplukan mengandung senyawa kimia asam sitrun dan fisalin. Selain itu
buah Ciplukan juga mengandung Asam Malat, Alkaloid, Tanin, Kriptoxantin,
Vitamin C dan Glukosa. Manfaat lainnya adalh untuk mengobati diabetes.
Caranya tumbuhan cip
lukan yang sudah
berbuah dicabut beserta akar-akarnya dan dibersihkan lalu dilayukan dan
direbus dengan 3 gelas air sampai mendidih hingga tingga 1 gelas,
kemudian disaring dan diminum 1 kali sehari."
Sumber : Facebook (Belajar Hidup Sehat)
Sejarah
Tanah Luwu sudah berawal jauh sebelum masa pemerintahan Hindia Belanda
bermula. Sebelumnya Luwu telah menjadi sebuah kerajaan yang mewilayahi
Tana Toraja (Makale, Rantepao) Sulawesi Selatan, Kolaka (Sulawesi
Tenggara) dan Poso (Sulawesi Tengah). Hal sejarah Luwu ini dikenal pula
dengan nama Tanah Luwu yang dihubungkan dengan nama La Galigo dan
Sawerigading.
Setelah Belanda menundukkan Luwu, mematahkan
perlawanan Luwu pada pendaratan tentara Belanda yang ditantang oleh
hulubalang Kerajaan Luwu Andi Tadda bersama dengan laskarnya di Ponjalae
pantai Palopo pada tahun 1905. Belanda selanjutnya mebangun sarana dan
prasarana untuk memenuhi keperluan pemerintah penjajah diseluruh wilayah
kerajaan Luwu mulai dari Selatan, Pitumpanua ke utara Poso, dan dari
Tenggara Kolaka (Mengkongga) ke Barat Tana Toraja. Pada Pemerintahan
Hindia Belanda, sistem pemerintahan di Luwu dibagi atas dua tingkatan
pemerintahan, yaitu:
Pemerintahan tingkat tinggi dipegang langsung oleh Pihak Belanda.
Pemerintahan tingkat rendah dipegang oleh Pihak Swapraja.
Dengan terjadinya sistem pemerintahan dualisme dalam tata pemerintahan
di Luwu pada masa itu, pemerintahan tingkat tinggi dipegang oleh Hindia
Belanda, dan yang tingkat rendah dipegang oleh Swapraja tetapi tetap
masih diatur oleh Belanda, namun secara de jure Pemerintahan Swapraja
tetap ada. Menyusul setelah Belanda berkuasa penuh di Luwu, maka wilayah
Kerajaan Luwu mulai diperkecil, dan dipecah sesuai dengan kehendak dan
kepentingan Belanda, yaitu:
Poso (yang masuk Sulawesi
Tengah sekarang) yang semula termasuk daerah Kerajaan Luwu dipisahkan,
dan dibentuk satu Afdeling.
Distrik Pitumpanua (sekarang Kecamatan Pitumpanua dan Keera) dipisah dan dimasukkan kedalam wilayah kekuasaan Wajo.
Kemudian dibentuk satu afdeling di Luwu yang dikepalai oleh seorang Asisten Residen yang berkedudukan di Palopo.
Selanjutnya Afdeling Luwu dibagi menjadi 5 (lima) Onder Afdeling, yaitu:
Onder Afdeling Palopo, dengan ibukotanya Palopo.
Onder Afdeling Makale, dengan ibukotanya Makale.
Onder Afdeling Masamba, dengan ibukotanya Masamba.
Onder Afdeling Malili, dengan ibukotanya Malili.
Onder Afdeling Mekongga, dengan ibukotanya Kolaka.
Selanjutnya pada masa pendudukan tentara Dai Nippon, Pemerintah Jepang
tidak mengubah sistem pemerintahan, yang diterapkan tentara Dai Noppon
pada masa berkuasa di Luwu (Tahun 1942), pada prinsipnya hanya
meneruskan sistem pemerintahan yang telah diterapkan oleh Belanda, hanya
digantikan oleh pembesar-pembesar Jepang. Kedudukan Datu Luwu dalam
sistem pemerintahan Sipil, sedangkan pemerintahan Militer dipegang oleh
Pihak Jepang. Dalam menjalankan Pemerintahan Sipil, Datu Luwu diberi
kebebasan, namun tetap diawasi secara ketat oleh pemerintahan Militer
Jepang yang sewaktu-waktu siap menghukum pejabat sipil yang tidak
menjalankan kehendak Jepang, dan yang menjadi pemerintahan sipil atau
Datu Luwu pada masa itu ialah " Andi Kambo Opu Tenrisompa" kemudian
diganti oleh putranya "Andi Patiware" yang kemuadian bergelar "Andi
Jemma".
Pada bulan April 1950 Andi Jemma dikukuhkan kembali
kedudukannya sebagai Datu/Pajung Luwu dengan wilayah seperti sediakala.
Afdeling Luwu meliputi lima onder Afdeling Palopo, Masamba, Malili, Tana
Toraja atau Makale, Rantepao dan Kolaka. Tahun 1953 Andi Jemma Datu
Luwu diangkat menjadi Penasehat Gubernur Sulawesi, waktu itu Sudiro.
Ketika Luwu dijadikan Pemerintahan Swapraja, Andi Jemma diangkat sebagai
Kepala Swapraja Luwu, pada tahun 1957 hingga 1960.
Atas
jasa-jasa beliau terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia, Andi Jemma
telah dianugerahi Bintang Gerilya tertanggal 10 November 1958, Nomor
36.822 yang ditandatangani Presiden Soekarno. Pada masa periode
kepemimpinan Andi Jemma sebagai Raja atau Datu Luwu terakhir, sekaligus
menandai berakhirnya sistem pemerintahan Swatantra (Desentralisasi).
Belasan tanda jasa kenegaraan Tingkat Nasional telah diberikan kepada
Andi Jemma sebelum beliau wafat tanggal 23 Februari 1965 di Kota
Makassar. Presiden Soekarno memerintahkan agar Datu Luwu dimakamkan
secara kenegaraan di ‘Taman Makam Pahlawan’ Panaikang Makassar, yang
dipimpin langsung oleh Panglima Kodam Hasanuddin.
Selanjutnya
pada masa setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, secara otomatis Kerajaan
Luwu berintegrasi masuk kedalam Negara Republik Indonesia. Hal itu
ditandai dengan adanya pernyataan Raja Luwu pada masa itu Andi Jemma
yang antara lain menyatakan "Kerajaan Luwu adalah bagian dari Wilayah
Kesatuan Republik Indonesia".
Pemerintah Pusat mengeluarkan
Peraturan Pemerintah No.34/1952 tentang Pembubaran Daerah Sulawesi
Selatan bentukan Belanda/Jepang termasuk Daerah yang berstatus Kerajaan.
Peraturan Pemerintah No.56/1951 tentang Pembentukan Gabungan Sulawesi
Selatan. Dengan demikian daerah gabungan tersebut dibubarkan dan
wilayahnya dibagi menjadi 7 tujuh daerah swatantra. Satu di antaranya
adalah daerah Swatantra Luwu yang mewilayahi seluruh daerah Luwu dan
Tana Toraja dengan pusat Pemerintahan berada di Kota Palopo.
Berselang beberapa tahun kemudian, Pemerintah Pusat menetapkan beberapa Undang-Undang Darurat, antara lain:
Undang-Undang Darurat No.2/1957 tentang Pembubaran Daerah Makassar, Jeneponto dan Takalar.
Undang-Undang Darurat No. 3/1957 tentang Pembubaran Daerah Luwu dan
Pembentukan Bone, Wajo dan Soppeng. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang
Darurat No. 4/1957, maka Daerah Luwu menjadi daerah Swatantra dan
terpisah dengan Tana Toraja.
Daerah Swatantra Luwu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Darurat No.3/1957 adalah meliputi:
Kewedanaan Palopo
Kewedanaan Masamba dan
Kewedanaan Malili
Kemudian pada tanggal 1 Maret 1960 ditetapkan PP Nomor 5 Tahun 1960
tentang Pembentukan Propinsi Administratif Sulawesi Selatan mempunyai 23
Daerah Tingkat II, salah satu diantaranya adalah Daerah Tingkat II
Luwu.
Untuk menciptakan keseragaman dan efisiensi struktur
Pemerintahan Daerah, maka berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala
Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Tenggara No.1100/1961, dibentuk 16
Distrik di Daerah Tingkat II Luwu, yaitu:
Wara
Larompong
Suli
Bajo
Bupon
Bastem
Walenrang(Batusitanduk)
Limbong
Sabbang
Malangke
Masamba
Bone-Bone
Wotu
Mangkutana
Malili
Nuha
Dengan 143 Desa gaya baru. Empat bulan kemudian, terbit SK Gubernur
Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Tenggara No.2067/1961 tanggal
18 Desember 1961 tentang Perubahan Status Distrik di Sulawesi Selatan
termasuk di Daerah Tingkat II Luwu menjadi Kecamatan. Dengan berpedoman
pula pada SK tersebut, maka status Distrik di Daerah Tingkat II Luwu
berubah menjadi kecamatan dan nama-nama kecamatannya tetap berpedoman
pada SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Tenggara No.
1100/1961 tertanggal 16 Agustus 1961, dengan luas wilayah 25.149 km2.
Perkembangan dari segi Administratif Pemerintahan di Dati II Luwu,
selain pemekaran kecamatan, desa dan kelurahan juga ditetapkannya Dati
II Luwu sebagai salah satu Kota Administratif (KOTIP) berdasarkan SK
Mendagri No.42/1986 tanggal 17 September 1986.
Dengan demikian
secara Administratif Dati II Luwu terdiri dari satu Kota Administratip,
tiga Pembantu Bupati, 21 Kecamatan Definitif, 13 Kecamatan Perwakilan,
408 Desa Definitif, 52 Desa Persiapan dan Kelurahan dengan luas wilayah
berdasarkan data dari Subdit Tata Guna Tanah Direktorat Agraria Propinsi
Sulawesi Selatan adalah 17.791,43 km2 dan dikuatkan dengan Surat
Keputusan Gubernur KDH Tingkat I Sulawesi Selatan Nomor 124/III/1983
tanggal 9 Maret 1983 tentang penetapan luas propinsi,
kabupaten/kotamadya dan kecamatan dalam wilayah propinsi Daerah Tingkat I
Sulawesi Selatan.
Luas Wilayah Propinsi Kabupaten/Kotamadya
dan Kecamatan yang ada sekarang sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan
nyata dilapangan oleh karena telah terjadi penyempurnaan batas wilayah
antar propinsi di Sulawesi Selatan, maka melalui kerjasama Kepala Kantor
Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi Sul-Sel dan Topografi Kodam
VII Wirabuana, Pemerintah Propinsi Tingkat I Sulawesi Selatan telah
berhasil menyusun data tentang luas wilayah propinsi, kabupaten/
kotamadya dan kecamatan di daerah Propinsi Daerah Tingkat I Sulawesi
Selatan dengan Surat Keputusan Gubernur KDH Tk.I Sul-Sel Nomor :
SK.164/IV/1994 tanggal 4 April 1994. Total luas wilayah Kabupaten Luwu
adalah 17.695,23 km2 dengan 21 kecamatan definitif dan 13 Kecamatan
Pembantu.
Pada tahun 1999, saat awal bergulirnya Reformasi di
seluruh wilayah Republik Indonesia, dimana telah dikeluarkannya UU No.22
Tahun 1999, tentang Pemerintahan di Daerah, dan mengubah mekanisme
pemerintahan yang mengarah pada Otonomi Daerah.
Tepatnya pada
tanggal 10 Februari 1999, oleh DPRD Kabupaten Luwu mengeluarkan Surat
Keputusan Nomor 03/Kpts/DPRD/II/1999, tentang Usul dan Persetujuan
Pemekaran Wilayah Kabupaten Dati II Luwu yang dibagi menjadi dua Wilayah
Kabupaten dan selanjutnya Gubernur KDH Tk.I Sul-Sel menindaklanjuti
dengan Surat Keputusan No.136/776/OTODA tanggal 12 Februari 1999.
Akhirnya pada tanggal 20 April 1999, terbentuklah Kabupaten Luwu Utara
ditetapkan dengan UU Republik Indonesia No.13 Tahun 1999.
Pemekaran Wilayah Kabupaten Dati II Luwu terbagi atas:
Kabupaten Dati II Luwu dengan batas Saluampak Kec. Lamasi dengan
batas Kabupaten Wajo dan Kabupaten Tana Toraja, dari 16 kecamatan,
yaitu:
Kecamatan Lamasi
Kecamatan Walenrang
Kecamatan Pembantu Telluwanua
Kecamatan Warautara
Kecamatan Wara
Kecamatan Pembantu Wara Selatan
Kecamatan Bua
Kecamatan Pembantu Ponrang
Kecamatan Bupon
Kecamatan Bastem
Kecamatan Pembantu Latimojong
Kecamatan Bajo
Kecamatan Belopa
Kecamatan Suli
Kecamatan Larompong
Kecamatan Pembantu Larompong Selatan
Kabupaten Luwu Utara dengan batas Saluampak Kec. Sabbang sampai
dengan batas Propinsi Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara, terdiri
dari 19 Kecamatan, yaitu:
Kecamatan Sabbang
Kecamatan Pembantu Baebunta
Kecamatan Limbong
Kecamatan Pembantu Seko
Kecamatan Malangke
Kecamatan Malangke Barat
Kecamatan Masamba
Kecamatan Pembantu Mappedeceng
Kecamatan Pembantu Rampi
Kecamatan Sukamaju
Kecamatan Bone-Bone
Kecamatan Pembantu Burau
Kecamatan Wotu
Kecamatan Pembantu Tomoni
Kecamatan Mangkutana
Kecamatan Pembantu Angkona
Kecamatan Malili
Kecamatan Nuha
Kecamatan Pembantu Towuti
Kota Palopo adalah salah saatu Daerah Tingkat II di provinsi
Sulawesi Selatan, Indonesia. Kota Palopo sebelumnya berstatus kota
administratif yang berlaku sejak 1986 berubah menjadi kota otonom sesuai
dengan UU Nomor 11 tahun 2002 tanggal 10 April 2002. Kota ini memiliki
luass wilayah 155,19 Km2 dan berpenduduk sejumlah 120.748 jiwa dan
dengan jumlah Kecamatan:
Kecamatan Wara
Kecamatan Wara Utara
Kecamatan Wara Selatan
Kecamatan Telluwanua
Kecamatan Wara Timur
Kecamatan Wara Barat
Kecamatan Mungkajang
Kecamatan Bara
Kecamatan Sendana
Kabupaten Luwu Timur adalah salah satu Daerah Tingkat II di
provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Kabupaten ini berasal dari
pemekaran Kabupaten Luwu Utara yang disahkan dengan UU Nomor 7 Tahun
2003 pada tanggal 25 Februari 2003. Kabupaten ini memiliki luas wilayah
6.944,98 km2, dengan Kecamatan masing-masing:
Kecamatan Angkona
Kecamatan Burau
Kecamatan Malili
Kecamatan Mangkutana
Kecamatan Nuha
Kecamatan Sorowako
Kecamatan Tomoni
Kecamatan Tomoni Utara
Kecamatan Towuti
Kecamatan Wotu
Setelah pembagian Wilayah Kabupaten Luwu dari dua Kabupaten menjadi
tiga Kabupaten dan satu Kota, maka secara otomatis luas Wilayah
Kabupaten ini berkurang dengan Kabupaten Luwu, Kabupaten Luwu Utara,
Kabupaten Luwu Timur dan Kota Palopo berdasarkan batas yang telah
ditetapkan, yaitu:
Luas Wilayah Kabupaten Luwu adalah 3.092,58 km2
Luas Wilayah Kabupaten Luwu Utara adalah 7.502,48 km2
Luas Wilayah Kota Palopo menjadi 155.19 km2.
Luas Wilayah Kabupaten Luwu Timur menjadi 6.944,98 km2
Sumber : Wikipedia bahasa Indonesia
Makam datu/raja di kompleks pemakaman Lokkoe konon di bangun pada 1605 Masehi. Proses pembangunanya mulai dilakukan sesaat setelah pembangunan Masjid Djami tua pada 1604. Bangunan tua itu menjadi saksi bisu kearifan masa lalu. Lokkoe, merupakan salah satu situs peninggalan sejarah di Kota Palopo. Konon Makam ini dibangun Setiaraja Petta Matinroe Ri Tompotikka.
Lokasinya terletak sebelah utara Kota Palopo sekitar satu kilometer dari Masjid Djami Tua. Disebut Lokkoe, karena bangunan makam tersebut melengkung dan di dalamnya terdapat 37 makam Raja/Datu Luwu. Mengunjungi tempat ini, tidaklah sulit. Akses transportasi begitu mudah dan terletak di jalan utama arus lalu lintas yang menghubungkan Palopo dan Kabupaten Luwu Utara.
Lokasi pemakaman ini dipagari tembok yang dihiasi ornamen-ornamen mirip arsitektur Bali. Dibangun pada 1990 oleh pemerintah saat itu, yang sebelumnya hanya pagar kawat, serta terdapat sebuah gerbang di pintu utama yang di sisi kiri-kanannya tersedia dudukan bagi pengunjung. Penulis yang berkunjung langsung, didampingi penjaga makam, Usman (60). Dia dipercaya pemerintah untuk menjaga dan merawat makam tersebut dari tahun 1992. 20 tahun sudah dia merawatnya.
Menuju bangunan inti pada kompleks pemakaman itu, pemandangan yang ada adalah jejeran batu nisan. Ada yang sudah tersentuh dengan nuansa modern, ada juga yang bertahan dengan ciri khas masa lalu. Di dalam komleks pemakaman itum terdapat tiga makam yang usianya sudah sangat tua. Diantaranya, Makam Lokko, berbentuk melengkung seperti piramida, makam jarrae berbentuk segi empat seperti benteng, dan makam Cippe berbentuk seperti batu yang sangat besar, ketiganya berada dalam satu makam yang dinamakan makam Lokkoe yang luasnya kurang lebih 670 meter persegi.
Tak ada yang lebih menakjubkan selain sebuah bangunan yang berbentuk piramida. Inilah yang disebut Lokkoe, merupakan makam utama. Berpintu kawat duri yang dilapisan belakang ditutup sebuah pintu terali besi. Sekitar 37 mendiang Raja-Raja/Datu (Pajung) Luwu di makamkan di sini.
Antara lain Latenripepang, Sultan Abdullah Pattiware, Petta Matinroe Ri Sabbamparu (raja XXVII), Daeng Mabarao-e (putra mahkota raja XXVIII) dan Andi Jellin (raja XXXV) serta A. Tendripadang (raja XXXVII). Selain raja, di dalam Lokkoe terdapat pula beberapa makam Cenning (orang kesayangan) dan permaisuri raja semua berada di dalam makam tersebut yang memiliki luas kurang lebih 10 X 10 meter, dengan tinggi bangunan 7 Meter, berbentuk melengkung seperti piramida. Konstruksi Lokkoe tanpa menggunakan sentuhan tulang (besi). Dibentuk dari susunan batu bata, diikat oleh bahan semacam semen. Pada setiap sudut bidang bangunan, diberi tonjolan yang berfungsi untuk memperkokoh atap makam. Bagian atas dinding diberi tonjolan untuk menahan air yang jatuh dari puncak, sekaligus berfungsi sebagai saluran air.
Sementara itu, di sebelah kanan arah timur, terdapat sebuah kuburan berpagar tembok setinggi 2 meter. Di situ tertulis “Petta Matinro-e ri Sabbamparu”. Ia adalah salah satu pejuang yang sangat tangguh di Luwu semasa hidupnya. Makam tersebut dinamakan Jerra, artinya makam tembok yang berbentuk segi empat. Di dalamya terdapat sekitar 13 makam keturunan dari keluarga “Petta Matinro-e ri Sabbamparu”. Sebagian nisan berornamen hiasan sulur-suluran dan ada juga yang terukir dengan lafadz ayat-ayat Qur’an. Selain Makam Jarra dan Makam Lokkoe juga terdapat Makam Cippe, ialah Makam Opu Ambona Wake. Salah satu pejuang Luwu. Konon batu nisan yang berada di makam tersebut tumbuh dengan sendirinya, saat ini batu tersebut tak tumbuh lagi. Ukuranya kira-kira jika di peluk oleh orang dewasa, kedua jari tangan tak bertemu atau bersentuhan. Di samping makam Opu Ambona Wake, juga terlihat makam Petta Punggawa, ialah makam salah satu pejuang dari Bone yang membantu pejuang rakyat Luwu untuk mengusir penjajah.
Sumber : Palopo Pos
READ MORE
Lokasinya terletak sebelah utara Kota Palopo sekitar satu kilometer dari Masjid Djami Tua. Disebut Lokkoe, karena bangunan makam tersebut melengkung dan di dalamnya terdapat 37 makam Raja/Datu Luwu. Mengunjungi tempat ini, tidaklah sulit. Akses transportasi begitu mudah dan terletak di jalan utama arus lalu lintas yang menghubungkan Palopo dan Kabupaten Luwu Utara.
Lokasi pemakaman ini dipagari tembok yang dihiasi ornamen-ornamen mirip arsitektur Bali. Dibangun pada 1990 oleh pemerintah saat itu, yang sebelumnya hanya pagar kawat, serta terdapat sebuah gerbang di pintu utama yang di sisi kiri-kanannya tersedia dudukan bagi pengunjung. Penulis yang berkunjung langsung, didampingi penjaga makam, Usman (60). Dia dipercaya pemerintah untuk menjaga dan merawat makam tersebut dari tahun 1992. 20 tahun sudah dia merawatnya.
Menuju bangunan inti pada kompleks pemakaman itu, pemandangan yang ada adalah jejeran batu nisan. Ada yang sudah tersentuh dengan nuansa modern, ada juga yang bertahan dengan ciri khas masa lalu. Di dalam komleks pemakaman itum terdapat tiga makam yang usianya sudah sangat tua. Diantaranya, Makam Lokko, berbentuk melengkung seperti piramida, makam jarrae berbentuk segi empat seperti benteng, dan makam Cippe berbentuk seperti batu yang sangat besar, ketiganya berada dalam satu makam yang dinamakan makam Lokkoe yang luasnya kurang lebih 670 meter persegi.
Tak ada yang lebih menakjubkan selain sebuah bangunan yang berbentuk piramida. Inilah yang disebut Lokkoe, merupakan makam utama. Berpintu kawat duri yang dilapisan belakang ditutup sebuah pintu terali besi. Sekitar 37 mendiang Raja-Raja/Datu (Pajung) Luwu di makamkan di sini.
Antara lain Latenripepang, Sultan Abdullah Pattiware, Petta Matinroe Ri Sabbamparu (raja XXVII), Daeng Mabarao-e (putra mahkota raja XXVIII) dan Andi Jellin (raja XXXV) serta A. Tendripadang (raja XXXVII). Selain raja, di dalam Lokkoe terdapat pula beberapa makam Cenning (orang kesayangan) dan permaisuri raja semua berada di dalam makam tersebut yang memiliki luas kurang lebih 10 X 10 meter, dengan tinggi bangunan 7 Meter, berbentuk melengkung seperti piramida. Konstruksi Lokkoe tanpa menggunakan sentuhan tulang (besi). Dibentuk dari susunan batu bata, diikat oleh bahan semacam semen. Pada setiap sudut bidang bangunan, diberi tonjolan yang berfungsi untuk memperkokoh atap makam. Bagian atas dinding diberi tonjolan untuk menahan air yang jatuh dari puncak, sekaligus berfungsi sebagai saluran air.
Sementara itu, di sebelah kanan arah timur, terdapat sebuah kuburan berpagar tembok setinggi 2 meter. Di situ tertulis “Petta Matinro-e ri Sabbamparu”. Ia adalah salah satu pejuang yang sangat tangguh di Luwu semasa hidupnya. Makam tersebut dinamakan Jerra, artinya makam tembok yang berbentuk segi empat. Di dalamya terdapat sekitar 13 makam keturunan dari keluarga “Petta Matinro-e ri Sabbamparu”. Sebagian nisan berornamen hiasan sulur-suluran dan ada juga yang terukir dengan lafadz ayat-ayat Qur’an. Selain Makam Jarra dan Makam Lokkoe juga terdapat Makam Cippe, ialah Makam Opu Ambona Wake. Salah satu pejuang Luwu. Konon batu nisan yang berada di makam tersebut tumbuh dengan sendirinya, saat ini batu tersebut tak tumbuh lagi. Ukuranya kira-kira jika di peluk oleh orang dewasa, kedua jari tangan tak bertemu atau bersentuhan. Di samping makam Opu Ambona Wake, juga terlihat makam Petta Punggawa, ialah makam salah satu pejuang dari Bone yang membantu pejuang rakyat Luwu untuk mengusir penjajah.
Sumber : Palopo Pos
"Tanaman kacang panjang mudah ditemukan di ladang, kebun, pekarangan, rumah, sawah, atau sebagai selingan tanaman palawija lainnya terutama banyak dipasar-pasar. Kacang panjang mengandung betakaroten, klorofil, vitamin B1 dan B2, protein, tiamin, riboflavin, fosfor, zat besi, serat, dan pektin. Sayuran ini berguna untuk mengendalikan kadar gula darah, mengatasi hipertensi, memperkecil resiko stroke, serangan jantung, mengatasi sembelit, dan meningkatkan fungsi organ pencernaan. Selain itu, ia juga memiliki sifat diuretic (peluruh kencing) tingkat sedang. Dengan mengkonsumsinya secara rutin diyakinin dapat membantu melancarkan buang air kecil. "
Sumber : Belajar Hidup Sehat
"Untuk
1 gelas stroberi juga mengandung skitar 270 miligram potassium, dimana
potassium merupakan salah satu mineral yang disarankan ada dalam menu
makanan bagi orang yang ingin menurunkan tekanan darah. Jumlah yang sama
juga megandung sekitar 4 gram serat, yang dapat membantu
menurunkan kadar lemak kolesterol darah dan menyehatkan saluran
pencernakan. Buah Stroberi juga mengandung senyawa-senyawa fitokimia
yakni asam ellagik, kuersetin, kaempferol, asam fenolat dan antosianin
yang diketahui dapat mencegah penggumpalan dara, salah satu penyebab
orang kena serangan jantung atau stroke."
Sumber : Tips Minuman Sehat