"Menurut
penelitian, anti oksidan yang terkandung dalam teh rosella lebih tinggi
dari pada kumis kucing yang sudah teruji secara klinis mampu meluruhkan
batu ginjal. Melelui penelitian pula didapati 51 % antosianin dan 24 %
anti oksidan dal
am larutan 300 ml air
yang diseduh dengan bunga rosella yang sudah dikeringkan. Antosianin
dalam rosella dapat menghambat dan mematikan sel kanker darah merah atau
leukemia. Dan secara tradisional sudah banyak warga masyarakat yang
memanfaatkan bunga rosella untuk menurunkan darah tinggi. Jika meminum
seduhan bunga rosella secara teratur, maka kekakuan saraf dan ketegangan
leher akibat hipertensi lama-kelamaan akan menghilang. "
Sumber : Facebook (Belajar Hidup Sehat)
"
Ciplukan (Physalis minina) merupakan tumbuhan liar, berupa semak/perdu
yang rendah dengan nama lokal Morel berry (Inggris), Ciplukan
(Indonesia), Ceplukan (Jawa); Cecendet (Sunda), Yor-yoran (Madura),
Lapinonat (Seram); Angket, Kepok-kepo
kan,
Keceplokan (Bali), Dedes (Sasak); Leletokan (Minahasa). Salah satu
manfaatnya untuk mengobati ayan/epilepsi. Caranya ambil 8-10 butir buah
ciplukan yang sudah dimasak dimakan setiap hari secara rutin."
"Buah
Ciplukan mengandung senyawa kimia asam sitrun dan fisalin. Selain itu
buah Ciplukan juga mengandung Asam Malat, Alkaloid, Tanin, Kriptoxantin,
Vitamin C dan Glukosa. Manfaat lainnya adalh untuk mengobati diabetes.
Caranya tumbuhan cip
lukan yang sudah
berbuah dicabut beserta akar-akarnya dan dibersihkan lalu dilayukan dan
direbus dengan 3 gelas air sampai mendidih hingga tingga 1 gelas,
kemudian disaring dan diminum 1 kali sehari."
Sumber : Facebook (Belajar Hidup Sehat)
Sejarah
Tanah Luwu sudah berawal jauh sebelum masa pemerintahan Hindia Belanda
bermula. Sebelumnya Luwu telah menjadi sebuah kerajaan yang mewilayahi
Tana Toraja (Makale, Rantepao) Sulawesi Selatan, Kolaka (Sulawesi
Tenggara) dan Poso (Sulawesi Tengah). Hal sejarah Luwu ini dikenal pula
dengan nama Tanah Luwu yang dihubungkan dengan nama La Galigo dan
Sawerigading.
Setelah Belanda menundukkan Luwu, mematahkan
perlawanan Luwu pada pendaratan tentara Belanda yang ditantang oleh
hulubalang Kerajaan Luwu Andi Tadda bersama dengan laskarnya di Ponjalae
pantai Palopo pada tahun 1905. Belanda selanjutnya mebangun sarana dan
prasarana untuk memenuhi keperluan pemerintah penjajah diseluruh wilayah
kerajaan Luwu mulai dari Selatan, Pitumpanua ke utara Poso, dan dari
Tenggara Kolaka (Mengkongga) ke Barat Tana Toraja. Pada Pemerintahan
Hindia Belanda, sistem pemerintahan di Luwu dibagi atas dua tingkatan
pemerintahan, yaitu:
Pemerintahan tingkat tinggi dipegang langsung oleh Pihak Belanda.
Pemerintahan tingkat rendah dipegang oleh Pihak Swapraja.
Dengan terjadinya sistem pemerintahan dualisme dalam tata pemerintahan
di Luwu pada masa itu, pemerintahan tingkat tinggi dipegang oleh Hindia
Belanda, dan yang tingkat rendah dipegang oleh Swapraja tetapi tetap
masih diatur oleh Belanda, namun secara de jure Pemerintahan Swapraja
tetap ada. Menyusul setelah Belanda berkuasa penuh di Luwu, maka wilayah
Kerajaan Luwu mulai diperkecil, dan dipecah sesuai dengan kehendak dan
kepentingan Belanda, yaitu:
Poso (yang masuk Sulawesi
Tengah sekarang) yang semula termasuk daerah Kerajaan Luwu dipisahkan,
dan dibentuk satu Afdeling.
Distrik Pitumpanua (sekarang Kecamatan Pitumpanua dan Keera) dipisah dan dimasukkan kedalam wilayah kekuasaan Wajo.
Kemudian dibentuk satu afdeling di Luwu yang dikepalai oleh seorang Asisten Residen yang berkedudukan di Palopo.
Selanjutnya Afdeling Luwu dibagi menjadi 5 (lima) Onder Afdeling, yaitu:
Onder Afdeling Palopo, dengan ibukotanya Palopo.
Onder Afdeling Makale, dengan ibukotanya Makale.
Onder Afdeling Masamba, dengan ibukotanya Masamba.
Onder Afdeling Malili, dengan ibukotanya Malili.
Onder Afdeling Mekongga, dengan ibukotanya Kolaka.
Selanjutnya pada masa pendudukan tentara Dai Nippon, Pemerintah Jepang
tidak mengubah sistem pemerintahan, yang diterapkan tentara Dai Noppon
pada masa berkuasa di Luwu (Tahun 1942), pada prinsipnya hanya
meneruskan sistem pemerintahan yang telah diterapkan oleh Belanda, hanya
digantikan oleh pembesar-pembesar Jepang. Kedudukan Datu Luwu dalam
sistem pemerintahan Sipil, sedangkan pemerintahan Militer dipegang oleh
Pihak Jepang. Dalam menjalankan Pemerintahan Sipil, Datu Luwu diberi
kebebasan, namun tetap diawasi secara ketat oleh pemerintahan Militer
Jepang yang sewaktu-waktu siap menghukum pejabat sipil yang tidak
menjalankan kehendak Jepang, dan yang menjadi pemerintahan sipil atau
Datu Luwu pada masa itu ialah " Andi Kambo Opu Tenrisompa" kemudian
diganti oleh putranya "Andi Patiware" yang kemuadian bergelar "Andi
Jemma".
Pada bulan April 1950 Andi Jemma dikukuhkan kembali
kedudukannya sebagai Datu/Pajung Luwu dengan wilayah seperti sediakala.
Afdeling Luwu meliputi lima onder Afdeling Palopo, Masamba, Malili, Tana
Toraja atau Makale, Rantepao dan Kolaka. Tahun 1953 Andi Jemma Datu
Luwu diangkat menjadi Penasehat Gubernur Sulawesi, waktu itu Sudiro.
Ketika Luwu dijadikan Pemerintahan Swapraja, Andi Jemma diangkat sebagai
Kepala Swapraja Luwu, pada tahun 1957 hingga 1960.
Atas
jasa-jasa beliau terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia, Andi Jemma
telah dianugerahi Bintang Gerilya tertanggal 10 November 1958, Nomor
36.822 yang ditandatangani Presiden Soekarno. Pada masa periode
kepemimpinan Andi Jemma sebagai Raja atau Datu Luwu terakhir, sekaligus
menandai berakhirnya sistem pemerintahan Swatantra (Desentralisasi).
Belasan tanda jasa kenegaraan Tingkat Nasional telah diberikan kepada
Andi Jemma sebelum beliau wafat tanggal 23 Februari 1965 di Kota
Makassar. Presiden Soekarno memerintahkan agar Datu Luwu dimakamkan
secara kenegaraan di ‘Taman Makam Pahlawan’ Panaikang Makassar, yang
dipimpin langsung oleh Panglima Kodam Hasanuddin.
Selanjutnya
pada masa setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, secara otomatis Kerajaan
Luwu berintegrasi masuk kedalam Negara Republik Indonesia. Hal itu
ditandai dengan adanya pernyataan Raja Luwu pada masa itu Andi Jemma
yang antara lain menyatakan "Kerajaan Luwu adalah bagian dari Wilayah
Kesatuan Republik Indonesia".
Pemerintah Pusat mengeluarkan
Peraturan Pemerintah No.34/1952 tentang Pembubaran Daerah Sulawesi
Selatan bentukan Belanda/Jepang termasuk Daerah yang berstatus Kerajaan.
Peraturan Pemerintah No.56/1951 tentang Pembentukan Gabungan Sulawesi
Selatan. Dengan demikian daerah gabungan tersebut dibubarkan dan
wilayahnya dibagi menjadi 7 tujuh daerah swatantra. Satu di antaranya
adalah daerah Swatantra Luwu yang mewilayahi seluruh daerah Luwu dan
Tana Toraja dengan pusat Pemerintahan berada di Kota Palopo.
Berselang beberapa tahun kemudian, Pemerintah Pusat menetapkan beberapa Undang-Undang Darurat, antara lain:
Undang-Undang Darurat No.2/1957 tentang Pembubaran Daerah Makassar, Jeneponto dan Takalar.
Undang-Undang Darurat No. 3/1957 tentang Pembubaran Daerah Luwu dan
Pembentukan Bone, Wajo dan Soppeng. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang
Darurat No. 4/1957, maka Daerah Luwu menjadi daerah Swatantra dan
terpisah dengan Tana Toraja.
Daerah Swatantra Luwu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Darurat No.3/1957 adalah meliputi:
Kewedanaan Palopo
Kewedanaan Masamba dan
Kewedanaan Malili
Kemudian pada tanggal 1 Maret 1960 ditetapkan PP Nomor 5 Tahun 1960
tentang Pembentukan Propinsi Administratif Sulawesi Selatan mempunyai 23
Daerah Tingkat II, salah satu diantaranya adalah Daerah Tingkat II
Luwu.
Untuk menciptakan keseragaman dan efisiensi struktur
Pemerintahan Daerah, maka berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala
Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Tenggara No.1100/1961, dibentuk 16
Distrik di Daerah Tingkat II Luwu, yaitu:
Wara
Larompong
Suli
Bajo
Bupon
Bastem
Walenrang(Batusitanduk)
Limbong
Sabbang
Malangke
Masamba
Bone-Bone
Wotu
Mangkutana
Malili
Nuha
Dengan 143 Desa gaya baru. Empat bulan kemudian, terbit SK Gubernur
Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Tenggara No.2067/1961 tanggal
18 Desember 1961 tentang Perubahan Status Distrik di Sulawesi Selatan
termasuk di Daerah Tingkat II Luwu menjadi Kecamatan. Dengan berpedoman
pula pada SK tersebut, maka status Distrik di Daerah Tingkat II Luwu
berubah menjadi kecamatan dan nama-nama kecamatannya tetap berpedoman
pada SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Tenggara No.
1100/1961 tertanggal 16 Agustus 1961, dengan luas wilayah 25.149 km2.
Perkembangan dari segi Administratif Pemerintahan di Dati II Luwu,
selain pemekaran kecamatan, desa dan kelurahan juga ditetapkannya Dati
II Luwu sebagai salah satu Kota Administratif (KOTIP) berdasarkan SK
Mendagri No.42/1986 tanggal 17 September 1986.
Dengan demikian
secara Administratif Dati II Luwu terdiri dari satu Kota Administratip,
tiga Pembantu Bupati, 21 Kecamatan Definitif, 13 Kecamatan Perwakilan,
408 Desa Definitif, 52 Desa Persiapan dan Kelurahan dengan luas wilayah
berdasarkan data dari Subdit Tata Guna Tanah Direktorat Agraria Propinsi
Sulawesi Selatan adalah 17.791,43 km2 dan dikuatkan dengan Surat
Keputusan Gubernur KDH Tingkat I Sulawesi Selatan Nomor 124/III/1983
tanggal 9 Maret 1983 tentang penetapan luas propinsi,
kabupaten/kotamadya dan kecamatan dalam wilayah propinsi Daerah Tingkat I
Sulawesi Selatan.
Luas Wilayah Propinsi Kabupaten/Kotamadya
dan Kecamatan yang ada sekarang sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan
nyata dilapangan oleh karena telah terjadi penyempurnaan batas wilayah
antar propinsi di Sulawesi Selatan, maka melalui kerjasama Kepala Kantor
Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi Sul-Sel dan Topografi Kodam
VII Wirabuana, Pemerintah Propinsi Tingkat I Sulawesi Selatan telah
berhasil menyusun data tentang luas wilayah propinsi, kabupaten/
kotamadya dan kecamatan di daerah Propinsi Daerah Tingkat I Sulawesi
Selatan dengan Surat Keputusan Gubernur KDH Tk.I Sul-Sel Nomor :
SK.164/IV/1994 tanggal 4 April 1994. Total luas wilayah Kabupaten Luwu
adalah 17.695,23 km2 dengan 21 kecamatan definitif dan 13 Kecamatan
Pembantu.
Pada tahun 1999, saat awal bergulirnya Reformasi di
seluruh wilayah Republik Indonesia, dimana telah dikeluarkannya UU No.22
Tahun 1999, tentang Pemerintahan di Daerah, dan mengubah mekanisme
pemerintahan yang mengarah pada Otonomi Daerah.
Tepatnya pada
tanggal 10 Februari 1999, oleh DPRD Kabupaten Luwu mengeluarkan Surat
Keputusan Nomor 03/Kpts/DPRD/II/1999, tentang Usul dan Persetujuan
Pemekaran Wilayah Kabupaten Dati II Luwu yang dibagi menjadi dua Wilayah
Kabupaten dan selanjutnya Gubernur KDH Tk.I Sul-Sel menindaklanjuti
dengan Surat Keputusan No.136/776/OTODA tanggal 12 Februari 1999.
Akhirnya pada tanggal 20 April 1999, terbentuklah Kabupaten Luwu Utara
ditetapkan dengan UU Republik Indonesia No.13 Tahun 1999.
Pemekaran Wilayah Kabupaten Dati II Luwu terbagi atas:
Kabupaten Dati II Luwu dengan batas Saluampak Kec. Lamasi dengan
batas Kabupaten Wajo dan Kabupaten Tana Toraja, dari 16 kecamatan,
yaitu:
Kecamatan Lamasi
Kecamatan Walenrang
Kecamatan Pembantu Telluwanua
Kecamatan Warautara
Kecamatan Wara
Kecamatan Pembantu Wara Selatan
Kecamatan Bua
Kecamatan Pembantu Ponrang
Kecamatan Bupon
Kecamatan Bastem
Kecamatan Pembantu Latimojong
Kecamatan Bajo
Kecamatan Belopa
Kecamatan Suli
Kecamatan Larompong
Kecamatan Pembantu Larompong Selatan
Kabupaten Luwu Utara dengan batas Saluampak Kec. Sabbang sampai
dengan batas Propinsi Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara, terdiri
dari 19 Kecamatan, yaitu:
Kecamatan Sabbang
Kecamatan Pembantu Baebunta
Kecamatan Limbong
Kecamatan Pembantu Seko
Kecamatan Malangke
Kecamatan Malangke Barat
Kecamatan Masamba
Kecamatan Pembantu Mappedeceng
Kecamatan Pembantu Rampi
Kecamatan Sukamaju
Kecamatan Bone-Bone
Kecamatan Pembantu Burau
Kecamatan Wotu
Kecamatan Pembantu Tomoni
Kecamatan Mangkutana
Kecamatan Pembantu Angkona
Kecamatan Malili
Kecamatan Nuha
Kecamatan Pembantu Towuti
Kota Palopo adalah salah saatu Daerah Tingkat II di provinsi
Sulawesi Selatan, Indonesia. Kota Palopo sebelumnya berstatus kota
administratif yang berlaku sejak 1986 berubah menjadi kota otonom sesuai
dengan UU Nomor 11 tahun 2002 tanggal 10 April 2002. Kota ini memiliki
luass wilayah 155,19 Km2 dan berpenduduk sejumlah 120.748 jiwa dan
dengan jumlah Kecamatan:
Kecamatan Wara
Kecamatan Wara Utara
Kecamatan Wara Selatan
Kecamatan Telluwanua
Kecamatan Wara Timur
Kecamatan Wara Barat
Kecamatan Mungkajang
Kecamatan Bara
Kecamatan Sendana
Kabupaten Luwu Timur adalah salah satu Daerah Tingkat II di
provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Kabupaten ini berasal dari
pemekaran Kabupaten Luwu Utara yang disahkan dengan UU Nomor 7 Tahun
2003 pada tanggal 25 Februari 2003. Kabupaten ini memiliki luas wilayah
6.944,98 km2, dengan Kecamatan masing-masing:
Kecamatan Angkona
Kecamatan Burau
Kecamatan Malili
Kecamatan Mangkutana
Kecamatan Nuha
Kecamatan Sorowako
Kecamatan Tomoni
Kecamatan Tomoni Utara
Kecamatan Towuti
Kecamatan Wotu
Setelah pembagian Wilayah Kabupaten Luwu dari dua Kabupaten menjadi
tiga Kabupaten dan satu Kota, maka secara otomatis luas Wilayah
Kabupaten ini berkurang dengan Kabupaten Luwu, Kabupaten Luwu Utara,
Kabupaten Luwu Timur dan Kota Palopo berdasarkan batas yang telah
ditetapkan, yaitu:
Luas Wilayah Kabupaten Luwu adalah 3.092,58 km2
Luas Wilayah Kabupaten Luwu Utara adalah 7.502,48 km2
Luas Wilayah Kota Palopo menjadi 155.19 km2.
Luas Wilayah Kabupaten Luwu Timur menjadi 6.944,98 km2
Sumber : Wikipedia bahasa Indonesia
Makam datu/raja di kompleks pemakaman Lokkoe konon di bangun pada 1605 Masehi. Proses pembangunanya mulai dilakukan sesaat setelah pembangunan Masjid Djami tua pada 1604. Bangunan tua itu menjadi saksi bisu kearifan masa lalu. Lokkoe, merupakan salah satu situs peninggalan sejarah di Kota Palopo. Konon Makam ini dibangun Setiaraja Petta Matinroe Ri Tompotikka.
Lokasinya terletak sebelah utara Kota Palopo sekitar satu kilometer dari Masjid Djami Tua. Disebut Lokkoe, karena bangunan makam tersebut melengkung dan di dalamnya terdapat 37 makam Raja/Datu Luwu. Mengunjungi tempat ini, tidaklah sulit. Akses transportasi begitu mudah dan terletak di jalan utama arus lalu lintas yang menghubungkan Palopo dan Kabupaten Luwu Utara.
Lokasi pemakaman ini dipagari tembok yang dihiasi ornamen-ornamen mirip arsitektur Bali. Dibangun pada 1990 oleh pemerintah saat itu, yang sebelumnya hanya pagar kawat, serta terdapat sebuah gerbang di pintu utama yang di sisi kiri-kanannya tersedia dudukan bagi pengunjung. Penulis yang berkunjung langsung, didampingi penjaga makam, Usman (60). Dia dipercaya pemerintah untuk menjaga dan merawat makam tersebut dari tahun 1992. 20 tahun sudah dia merawatnya.
Menuju bangunan inti pada kompleks pemakaman itu, pemandangan yang ada adalah jejeran batu nisan. Ada yang sudah tersentuh dengan nuansa modern, ada juga yang bertahan dengan ciri khas masa lalu. Di dalam komleks pemakaman itum terdapat tiga makam yang usianya sudah sangat tua. Diantaranya, Makam Lokko, berbentuk melengkung seperti piramida, makam jarrae berbentuk segi empat seperti benteng, dan makam Cippe berbentuk seperti batu yang sangat besar, ketiganya berada dalam satu makam yang dinamakan makam Lokkoe yang luasnya kurang lebih 670 meter persegi.
Tak ada yang lebih menakjubkan selain sebuah bangunan yang berbentuk piramida. Inilah yang disebut Lokkoe, merupakan makam utama. Berpintu kawat duri yang dilapisan belakang ditutup sebuah pintu terali besi. Sekitar 37 mendiang Raja-Raja/Datu (Pajung) Luwu di makamkan di sini.
Antara lain Latenripepang, Sultan Abdullah Pattiware, Petta Matinroe Ri Sabbamparu (raja XXVII), Daeng Mabarao-e (putra mahkota raja XXVIII) dan Andi Jellin (raja XXXV) serta A. Tendripadang (raja XXXVII). Selain raja, di dalam Lokkoe terdapat pula beberapa makam Cenning (orang kesayangan) dan permaisuri raja semua berada di dalam makam tersebut yang memiliki luas kurang lebih 10 X 10 meter, dengan tinggi bangunan 7 Meter, berbentuk melengkung seperti piramida. Konstruksi Lokkoe tanpa menggunakan sentuhan tulang (besi). Dibentuk dari susunan batu bata, diikat oleh bahan semacam semen. Pada setiap sudut bidang bangunan, diberi tonjolan yang berfungsi untuk memperkokoh atap makam. Bagian atas dinding diberi tonjolan untuk menahan air yang jatuh dari puncak, sekaligus berfungsi sebagai saluran air.
Sementara itu, di sebelah kanan arah timur, terdapat sebuah kuburan berpagar tembok setinggi 2 meter. Di situ tertulis “Petta Matinro-e ri Sabbamparu”. Ia adalah salah satu pejuang yang sangat tangguh di Luwu semasa hidupnya. Makam tersebut dinamakan Jerra, artinya makam tembok yang berbentuk segi empat. Di dalamya terdapat sekitar 13 makam keturunan dari keluarga “Petta Matinro-e ri Sabbamparu”. Sebagian nisan berornamen hiasan sulur-suluran dan ada juga yang terukir dengan lafadz ayat-ayat Qur’an. Selain Makam Jarra dan Makam Lokkoe juga terdapat Makam Cippe, ialah Makam Opu Ambona Wake. Salah satu pejuang Luwu. Konon batu nisan yang berada di makam tersebut tumbuh dengan sendirinya, saat ini batu tersebut tak tumbuh lagi. Ukuranya kira-kira jika di peluk oleh orang dewasa, kedua jari tangan tak bertemu atau bersentuhan. Di samping makam Opu Ambona Wake, juga terlihat makam Petta Punggawa, ialah makam salah satu pejuang dari Bone yang membantu pejuang rakyat Luwu untuk mengusir penjajah.
Sumber : Palopo Pos
READ MORE
Lokasinya terletak sebelah utara Kota Palopo sekitar satu kilometer dari Masjid Djami Tua. Disebut Lokkoe, karena bangunan makam tersebut melengkung dan di dalamnya terdapat 37 makam Raja/Datu Luwu. Mengunjungi tempat ini, tidaklah sulit. Akses transportasi begitu mudah dan terletak di jalan utama arus lalu lintas yang menghubungkan Palopo dan Kabupaten Luwu Utara.
Lokasi pemakaman ini dipagari tembok yang dihiasi ornamen-ornamen mirip arsitektur Bali. Dibangun pada 1990 oleh pemerintah saat itu, yang sebelumnya hanya pagar kawat, serta terdapat sebuah gerbang di pintu utama yang di sisi kiri-kanannya tersedia dudukan bagi pengunjung. Penulis yang berkunjung langsung, didampingi penjaga makam, Usman (60). Dia dipercaya pemerintah untuk menjaga dan merawat makam tersebut dari tahun 1992. 20 tahun sudah dia merawatnya.
Menuju bangunan inti pada kompleks pemakaman itu, pemandangan yang ada adalah jejeran batu nisan. Ada yang sudah tersentuh dengan nuansa modern, ada juga yang bertahan dengan ciri khas masa lalu. Di dalam komleks pemakaman itum terdapat tiga makam yang usianya sudah sangat tua. Diantaranya, Makam Lokko, berbentuk melengkung seperti piramida, makam jarrae berbentuk segi empat seperti benteng, dan makam Cippe berbentuk seperti batu yang sangat besar, ketiganya berada dalam satu makam yang dinamakan makam Lokkoe yang luasnya kurang lebih 670 meter persegi.
Tak ada yang lebih menakjubkan selain sebuah bangunan yang berbentuk piramida. Inilah yang disebut Lokkoe, merupakan makam utama. Berpintu kawat duri yang dilapisan belakang ditutup sebuah pintu terali besi. Sekitar 37 mendiang Raja-Raja/Datu (Pajung) Luwu di makamkan di sini.
Antara lain Latenripepang, Sultan Abdullah Pattiware, Petta Matinroe Ri Sabbamparu (raja XXVII), Daeng Mabarao-e (putra mahkota raja XXVIII) dan Andi Jellin (raja XXXV) serta A. Tendripadang (raja XXXVII). Selain raja, di dalam Lokkoe terdapat pula beberapa makam Cenning (orang kesayangan) dan permaisuri raja semua berada di dalam makam tersebut yang memiliki luas kurang lebih 10 X 10 meter, dengan tinggi bangunan 7 Meter, berbentuk melengkung seperti piramida. Konstruksi Lokkoe tanpa menggunakan sentuhan tulang (besi). Dibentuk dari susunan batu bata, diikat oleh bahan semacam semen. Pada setiap sudut bidang bangunan, diberi tonjolan yang berfungsi untuk memperkokoh atap makam. Bagian atas dinding diberi tonjolan untuk menahan air yang jatuh dari puncak, sekaligus berfungsi sebagai saluran air.
Sementara itu, di sebelah kanan arah timur, terdapat sebuah kuburan berpagar tembok setinggi 2 meter. Di situ tertulis “Petta Matinro-e ri Sabbamparu”. Ia adalah salah satu pejuang yang sangat tangguh di Luwu semasa hidupnya. Makam tersebut dinamakan Jerra, artinya makam tembok yang berbentuk segi empat. Di dalamya terdapat sekitar 13 makam keturunan dari keluarga “Petta Matinro-e ri Sabbamparu”. Sebagian nisan berornamen hiasan sulur-suluran dan ada juga yang terukir dengan lafadz ayat-ayat Qur’an. Selain Makam Jarra dan Makam Lokkoe juga terdapat Makam Cippe, ialah Makam Opu Ambona Wake. Salah satu pejuang Luwu. Konon batu nisan yang berada di makam tersebut tumbuh dengan sendirinya, saat ini batu tersebut tak tumbuh lagi. Ukuranya kira-kira jika di peluk oleh orang dewasa, kedua jari tangan tak bertemu atau bersentuhan. Di samping makam Opu Ambona Wake, juga terlihat makam Petta Punggawa, ialah makam salah satu pejuang dari Bone yang membantu pejuang rakyat Luwu untuk mengusir penjajah.
Sumber : Palopo Pos
"Tanaman kacang panjang mudah ditemukan di ladang, kebun, pekarangan, rumah, sawah, atau sebagai selingan tanaman palawija lainnya terutama banyak dipasar-pasar. Kacang panjang mengandung betakaroten, klorofil, vitamin B1 dan B2, protein, tiamin, riboflavin, fosfor, zat besi, serat, dan pektin. Sayuran ini berguna untuk mengendalikan kadar gula darah, mengatasi hipertensi, memperkecil resiko stroke, serangan jantung, mengatasi sembelit, dan meningkatkan fungsi organ pencernaan. Selain itu, ia juga memiliki sifat diuretic (peluruh kencing) tingkat sedang. Dengan mengkonsumsinya secara rutin diyakinin dapat membantu melancarkan buang air kecil. "
Sumber : Belajar Hidup Sehat
"Untuk
1 gelas stroberi juga mengandung skitar 270 miligram potassium, dimana
potassium merupakan salah satu mineral yang disarankan ada dalam menu
makanan bagi orang yang ingin menurunkan tekanan darah. Jumlah yang sama
juga megandung sekitar 4 gram serat, yang dapat membantu
menurunkan kadar lemak kolesterol darah dan menyehatkan saluran
pencernakan. Buah Stroberi juga mengandung senyawa-senyawa fitokimia
yakni asam ellagik, kuersetin, kaempferol, asam fenolat dan antosianin
yang diketahui dapat mencegah penggumpalan dara, salah satu penyebab
orang kena serangan jantung atau stroke."
Sumber : Tips Minuman Sehat
"Kangkung (ipomoea aquatica forsk atau ipomoea reptans poir1) merupakan tanaman sayuran yang umurnya bisa lebih dari 1 tahun. Pertumbuhannya menjalar atau membelit pada tanaman di sekitarnya. Di dalam Kangkung terdapat kandungan vitamin A, vitamin B1, vitamin C, protein, kalsium, fosfor, zat besi, karoten, hentriakontan, dan sitosterol. Berdasarkan penelitian, bahan-bahan yang dikandung oleh Kangkung memiliki manfaat untuk mengobati berbagai gangguan kesehatan dan sebagai antiracun."
Sumber : belajar hidup sehat
*Sejarah pembangunan*
Sesuai
namanya, Masjid Jami Tua Palopo, masjid ini berusia sangat tua,
diperkirakan berdiri pada tahun 1604 M. Artinya, usia masjid ini sudah
lebih dari empat abad. Masjid Palopo merupakan masjid kerajaan yang
didirikan ketika Kerajaan Luwu sedang berada dalam masa kejayaannya.
Saat itu, yang berkuasa di Luwu adalah Datu Payung Luwu XVI Pati Pasaung
Toampanangi Sultan Abdullah Matinroe. Sejarahnya, ketika ia naik
menggantikan ayahnya pada tahun 1604 M, ia memindahkan ibukota kerajaan
dari Patimang ke Ware, dengan alasan Ware berada di pantai dan lebih
dekat dengan pelabuhan, sehingga aktifitas ekonomi bisa lebih mudah
dilakukan. Sumber sejarah lain ada juga yang mengkaitkan perpindahan
ibukota kerajaan ini dengan kepentingan untuk penyebaran Islam. Jika
pendapat ini benar, maka perpindahan tersebut juga menandakan bahwa
pengaruh Islam semakin menguat dalam Kerajaan Luwu. Hal ini bisa dilihat
dari konstruksi kompleks ibukota kerajaan yang baru, di mana masjid
dan istana dibangun berdekatan membentuk satu komplek kerajaan. Satu
unsur lagi yang dibangun dalam kompleks kerajaan Luwu adalah lapangan
luas yang terbuka (alun-alun). Struktur dan tata letak pusat
pemerintahan yang seperti ini mirip dengan struktur dan tata letak
kerajaan Islam di Jawa. Seiring dengan penamaan masjid ini dengan
Masjid Palopo, daerah tersebut kemudian juga disebut sebagai daerah
Palopo. Maka, sejak tahun 1604 M tersebut, daerah Ware ini berubah nama
menjadi Palopo. Kata Palopo berasal dari bahasa Bugis dan Luwu yang
memiliki dua arti. Arti pertama adalah penganan gula ketan dan air gula
merah yang dicampur; sedangkan arti yang kedua adalah memasukkan pasak
ke dalam tiang bangunan. Kedua makna kata ini memiliki relasi dengan
proses pembangunan Masjid Jami Tua ini. Oleh sebab itulah, timbul
kemudian inspirasi untuk menamakan masjid yang dibangun tersebut dengan
Palopo. Demikianlah sejarah asal usul munculnya kata Palopo.
*Lokasi*
Masjid Jami Tua Palopo terletak di kota Palopo, salah satu kota yang terdapat di Sulawesi Selatan, Indonesia.
*Luas*
Luas
Masjid Jami Tua Palopo 15x15 meter. dengan tebal dinding 0,94 m yang
terbuat dari batu cadas yang direkatkan dengan putih telur. Denahnya
berbentuk segi empat yang agaknya dipengaruhi bentuk denah candi-candi
di Jawa.Bentuk segi empat pada Masjid Tua Palopo mengandung makna yang sama dengan bentuk segi empat pada bangunan pendopo atau candi candi, yakni mengandung makna filosofis dan fungsional. Yang pertama berarti bahwa bentuk geometri tersebut sebetulnya. Sedangkan, makna yang kedua melambangkan persamaan dan kesetaraan siapa saja yang berada di dalamnya
*Arsitektur*
Arsitektur
Masjid Jami Tua Palopo sangat unik, kemungkinan mendapat pengaruh dari
konstruksi candi Hindu dan Budha di Jawa. Keunikan masjid ini tampak
dari bahan konstruksi dindingnya yang berasal dari batu cadas yang
dibentuk menjadi blok-blok sangat tebal segi empat. Denah masjid yang
berbentuk segi empat tampaknya juga terpengaruh oleh konstruksi candi
Jawa. Pada dinding bagian bawah, terdapat hiasan berupa molding
penyederhanaan bunga lotus, mirip dengan hiasan di candi Borobudur.
Pada dinding bagian atas juga terdapat motif alur yang mirip dengan
hiasan candi di Jawa. Dari aspek keterpengaruhan dengan konstruksi
candi, tampaknya Masjid Jami Tua ini merupakan satu-satunya di
Indonesia. Pada bagian atap, ada pendapat yang mengatakan bahwa,
konstruksi masjid ini dipengaruhi oleh atap joglo Jawa yang berbentuk
piramidal bertumpuk tiga, sering disebut tajug. Masjid Jami Tua Palopo menggunakan atap tajug
ini, dengan kemiringan makin ke atas makin curam dan pada puncaknya
berbentuk piramidal. Dua tumpang atap pada bagian bawah disangga oleh
empat tiang, dalam konstruksi Jawa sering disebut sokoguru. Sedangkan atap piramidal paling atas disangga oleh kolom (pilar) tunggal dari kayu cinna gori (cinaduri)
yang berdiameter 90 centimeter. Pada puncak atap masjid, terdapat
hiasan dari keramik berwarna biru yang diperkirakan berasal dari China.
Namun, ada pendapat lain yang mengatakan bahwa, sebenarnya konstruksi
tersebut bukan terpengaruh Jawa, tapi melambangkan aspek simbolisme
lokal berupa nilai-nilai yang menjadi inti pangngadereng
dalam kebudayaan Bugis, yang berakar pada filsafat kosmogonisnya. Hal
ini bisa dilihat pada struktur bangunan masjid secara keseluruhan yang
terdiri dari tiga susunan yang mengikuti konsep rumah panggung. Konsep
tiga susunan ini juga konsisten diterapkan pada bagian lainnya, seperti
atap dan hiasannya yang terdiri dari tiga susun; tiang penyangga yang
juga terdiri dari tiga susun yaitu pallanga (umpak), alliri possi (tiang pusat) dan soddu;
dinding tiga susun yang diantarai oleh bentuk pelipit; dan pewarnaan
tiang bangunan yang bersusun tiga dari atas ke bawah, dimulai dari warna
hijau, putih dan coklat. Selain aspek di atas, konsepsi wara (pusat) dan palili
(yang mengelilingi pusat) merupakan unsur yang sangat penting dalam
arsitektur masjid tersebut, yang terrefleksi pada tiang pusat (alliri posi) yang
dikelilingi oleh empat tiang pembantu. Aspek simbolisme lain yang juga
tampak dalam masjd ini adalah tujuh buah jendela yang berada di sisi
kanan dan kiri dinding masjid yang melambangkan tujuh hari dalam
seminggu. Pada jendela tersebut, terdapat pula terali besi yang
berbentuk tegak, melambangkan jumlah shalat wajib dalam sehari semalam.
Pada dinding bagian depan, terdapat pula tujuh bukaan, enam berbentuk
jendela, masing-masing tiga di sisi kiri dan tiga di sisi kanan, dan
satu berbentuk pintu yang berada di tengah untuk masuk jamaah. Dari
uraian di atas, tampak jelas bahwa konsep estetika yang diterapkan pada
Masjid Jami Tua Palopo ini mengacu pada sistem pengetahuan, kosmogonis
dan norma masyarakat Bugis; pemilihan bahan dan konstruksi bangunan
juga masih dilatari oleh unsur lokal, kecuali bahan untuk konstruksi
dinding dari batu yang lebih mirip konstruksi candi Hindu, dan mihrab
yang berbentuk ceruk, mirip dengan kontruksi yang terdapat pada
candi-candi. Dari situ, bisa disimpulkan bahwa, di samping unsur lokal
yang masih sangat kuat, masjid ini juga dipengaruhi oleh unsur asing,
yaitu konstruksi candi Hindu di Jawa. Kesimpulannya, ada tiga unsur
penting yang bersebati dalam konstruksi Masjid Jami Tua ini, yaitu
unsur lokal Bugis, Hindu dan Islam. Kenyataan tersebut menunjukkan
bahwa, masyarakat Bugis di Palopo sangat terbuka pada unsur luar,
sehingga terjadi proses akulturasi dan inovasi. Dari sudut pandang
sejarah dan budaya, terjadinya akulturasi dan inovasi merupakan bagian
dari usaha untuk menghindari konflik, antara masyarakat lokal yang
masih kuat menganut kepercayaan lama yang disebut attoriolong,
dengan unsur Islam yang mulai menyebar luas di daerah tersebut.
Sebagaimana diketahui, dalam unsur Islam tersebut juga terdapat
unsur-unsur kebudayaan Hindu yang memang sudah sangat berakar di
Nusantara. Oleh karena itu, unsur Hindu tersebut juga muncul dalam
arsitektur Masjid Jami Tua Palopo ini. Dari proses akulturasi inilah,
kemudian terjadi perubahan dalam konsep desain dan arsitektur Bugis di
Palopo.
*Perencana*
Belum
diketahui siapa perancang Masjid Jami Tua ini, di samping karena tidak
adanya data sejarah tertulis, sejarah lisan yang berkembang di
masyarakat juga tidak banyak menerangkan mengenai proses pembangunan
Masjid Jami Tua ini.
*Renovasi*
Sejauh
ini telah dilakukan beberapa kali renovasi untuk perbaikan masjid.
Renovasi pertama pada 1700 M dengan perbaikan pada lantai. Kedua, pada
1951, mengganti lantai yang lama dengan lantai dari tegel yang
didatangkan dari Singapura. Renovasi ketiga pada 1981 untuk memperbaiki
seluruh bagian masjid yang rusak. Sedangkan pada renovasi keempat dan
kelima dengan menambahkan luas bangunan hingga seperti yang sekarang
ini. Lahan masjid ini seluas 1.680 m².Bentuk arsitektur Masjid Tua Palopo secara keseluruhan menunjukkan nilai-nilai kebudayaan lokal yang berakulturasi dengan nilai-nilai dari luar, terutama Islam dan Jawa. Meski demikian, bagian inti dari kebudayaan setempat, tidak berubah.
Sumber : Dewa Copas
Palopo, merupakan kota yang memiliki keragaman budaya dan tradisi yang
selalu menarik untuk diperhatikan. Tidak hanya itu, kota yang terletak
di ujung utara Propinsi Sulawesi Selatan itu, berjarak 362 km dari
Makassar, juga memiliki sejumlah lokasi wisata budaya dan alam yang
potensial untuk dikembangkan. Kota Palopo juga tergolong kota yang
bersih. buktinya, Kota Palopo sudah beberapa kali mengantongi
penghargaan bergengsi di Bidang Kebersihan. diantaranya, Piala Adipura,
dan masih banyak lagi. Kota yang berjuluk Kota IDAMAN (Indah, Damai,
Aman) dikelilingi gunung-gunung yang sangat indah bila dipandang.
Berikut daftar objek wisata yang harus anda kunjungi jika datang ke Kota Palopo :
Masjid Jami' Tua Kota Palopo
Pembangunan masjid dimulai pada sekitar abad ke-16 tahun 1604 M oleh ulama yang berasal dari minangkabau, Sumatera “Datuk Sulaiman bergelar Datuk Pattimang”. Ukuran bangunan utama 11, 9 meter x 11,9 meter dan tinggi 3,64 meter, dinding masjid menggunakan batu setebal 0,94 meter yang direkatkan dengan putuh telur. Atap bersusun tiga dan dipuncaknya terdapat tempayan kramik sebagai mustaka yang mengandung falsafah LUWU, yaitu lampu, tongeng, benteng dan allele. Sedangkan mustaka adalah refresentasi dari sifat tuhan yang maha adil. Tiang utama sebagai penopang atap bermakna payung yang mengembang sebagai konsep tegaknya addatuang, dengan tinggi 8,5 meter dan diameter 90 cm dengan bahan kayu cengaduri. Konstruksi masjid sangat unik karena terdapat perpaduan unsur Beni Cina-Vietnam melalui arsitek POEMANTE. Luas lahan 1.680 m2. Pemugaran pertama tahu 1951 dengan mengganti lantai dengan tegel yang didatangkan dari Singapura. Kemudian pemugaran ketiga tahun 1981 yaitu memperbaiki pada bagian-bagian yang rusak, lalu pemugaran keempat dan kelima dengan melakukan penambahan luas bangunan.
Bagi masyarakat setempat, keberadaan Masjid Jami Tua di Kota Palopo ini dianggap sebagai pemersatu antar anggota masyarakat berdasarkan kesamaan agama.
Rumah Adat Langkanae dan LokkoE
Selain Masjid Jami Tua, beberapa bangunan bersejarah yang layak dijadikan tempat wisata budaya bersama keluarga di Kota Palopo adalah rumah adat Langkanae dan LokkoE (kuburan datu – datu Luwu).
Di rumah adat Langkanae ini, terdapat beberapa bangunan gedung bersejarah yang memiliki histori bagi masyarakat Palopo dan kawasan Luwu. Salah satunya adalah Istana Datu Luwu, yang saat ini difungsikan sebagai Museum Kerajaan Luwu dan diberi nama Museum La Galigo.
Lokasi rumah adat ini kerap digunakan sebagai tempat kegiatan sanggar budaya dan kegiatan adat lainnya.
Sementara kawasan wisata LokkoE yang terletak di Luminda, Sabbamparu, merupakan tempat pemakaman raja-raja (datu) Luwu. Tempat pemakaman ini menyerupai piramida yang ada di Mesir. Berbentuk kerucut dan di dalamnya disemayamkan para mendiang raja-raja Luwu yang dianggap dewan adat Luwu berhak dimakamkan di tempat pemakaman ini.
Bukit Sampoddo'
Bukit Sampoddo' terletak di wilayah Selatan Kota Palopo, merupakan lokasi wisata di mana Anda dapat menikmati eksotis kota Palopo yang terbingkai dalam tiga dimensi, yakni nuansa pegunungan, daratan dan daerah pesisir dengan sekali pandang.
Sambil menikmati keindahan kota, di tempat ini Anda juga bisa menikmati kelezatan jagung bakar dan jagung rebus yang diperjualbelikan oleh pedagang setempat.
Pantai Labombo
Berada di pusat kota. Sebuah suguhan panorama wisata bahari yang menawan. Sepanjang kawasan pantai dipenuhi barisan pohon kelapa dan beberapa gazebo terbangun indah. Selepas mata memandang, tampak birunya laut dan tempat pelelangan ikan (TPI) dan Pelabuhan Tanjung Ringgit terlihat jelas. Sarana rekereasi wisata bahari ini memiliki luas sekitar 2 Ha dan menjadi kawasan wisata andalan Palopo.
Desa Wisata Latuppa
Desa Latuppa terletak di Kecamatan Wara. Di desa ini, terdapat aliran sungai yang tidak pernah kering. Ditambah lagi, kekayaan alam di sekitarnya dengan berbagai macam buah-buahan. Biasanya, pada musim buah-buahan, masyarakat Palopo dan wisatawan dari luar mengunjungi daerah ini dan menikmati wisata alam sambil mandi di sungai sembari menikmati buah durian, rambutan dan langsat. Di kawasan ini, juga terdapat air terjun Latuppa yang menjadi lokasi wisata favorit bagi para remaja dan masyarakat umum.
Pulau Libukang
Pulau ini bisa ditempuh kurang lebih 20 Menit dari pusat kota.
pulau ini menyimpan sejuta keindahan yang eksotis. kalau tidak percaya, datang aja.
Permandian Alam Bambalu
terletak di Kelurahan Battang Barat (daerah pegunungan), permandian ini sangat diminati oleh para wisatawan Nasional maupun Internasional karena keindahannya.
Sumber : Berbagai sumber
READ MORE
Berikut daftar objek wisata yang harus anda kunjungi jika datang ke Kota Palopo :
Masjid Jami' Tua Kota Palopo
Pembangunan masjid dimulai pada sekitar abad ke-16 tahun 1604 M oleh ulama yang berasal dari minangkabau, Sumatera “Datuk Sulaiman bergelar Datuk Pattimang”. Ukuran bangunan utama 11, 9 meter x 11,9 meter dan tinggi 3,64 meter, dinding masjid menggunakan batu setebal 0,94 meter yang direkatkan dengan putuh telur. Atap bersusun tiga dan dipuncaknya terdapat tempayan kramik sebagai mustaka yang mengandung falsafah LUWU, yaitu lampu, tongeng, benteng dan allele. Sedangkan mustaka adalah refresentasi dari sifat tuhan yang maha adil. Tiang utama sebagai penopang atap bermakna payung yang mengembang sebagai konsep tegaknya addatuang, dengan tinggi 8,5 meter dan diameter 90 cm dengan bahan kayu cengaduri. Konstruksi masjid sangat unik karena terdapat perpaduan unsur Beni Cina-Vietnam melalui arsitek POEMANTE. Luas lahan 1.680 m2. Pemugaran pertama tahu 1951 dengan mengganti lantai dengan tegel yang didatangkan dari Singapura. Kemudian pemugaran ketiga tahun 1981 yaitu memperbaiki pada bagian-bagian yang rusak, lalu pemugaran keempat dan kelima dengan melakukan penambahan luas bangunan.
Bagi masyarakat setempat, keberadaan Masjid Jami Tua di Kota Palopo ini dianggap sebagai pemersatu antar anggota masyarakat berdasarkan kesamaan agama.
Rumah Adat Langkanae dan LokkoE
Selain Masjid Jami Tua, beberapa bangunan bersejarah yang layak dijadikan tempat wisata budaya bersama keluarga di Kota Palopo adalah rumah adat Langkanae dan LokkoE (kuburan datu – datu Luwu).
Di rumah adat Langkanae ini, terdapat beberapa bangunan gedung bersejarah yang memiliki histori bagi masyarakat Palopo dan kawasan Luwu. Salah satunya adalah Istana Datu Luwu, yang saat ini difungsikan sebagai Museum Kerajaan Luwu dan diberi nama Museum La Galigo.
Lokasi rumah adat ini kerap digunakan sebagai tempat kegiatan sanggar budaya dan kegiatan adat lainnya.
Sementara kawasan wisata LokkoE yang terletak di Luminda, Sabbamparu, merupakan tempat pemakaman raja-raja (datu) Luwu. Tempat pemakaman ini menyerupai piramida yang ada di Mesir. Berbentuk kerucut dan di dalamnya disemayamkan para mendiang raja-raja Luwu yang dianggap dewan adat Luwu berhak dimakamkan di tempat pemakaman ini.
Bukit Sampoddo'
Bukit Sampoddo' terletak di wilayah Selatan Kota Palopo, merupakan lokasi wisata di mana Anda dapat menikmati eksotis kota Palopo yang terbingkai dalam tiga dimensi, yakni nuansa pegunungan, daratan dan daerah pesisir dengan sekali pandang.
Sambil menikmati keindahan kota, di tempat ini Anda juga bisa menikmati kelezatan jagung bakar dan jagung rebus yang diperjualbelikan oleh pedagang setempat.
Pantai Labombo
Berada di pusat kota. Sebuah suguhan panorama wisata bahari yang menawan. Sepanjang kawasan pantai dipenuhi barisan pohon kelapa dan beberapa gazebo terbangun indah. Selepas mata memandang, tampak birunya laut dan tempat pelelangan ikan (TPI) dan Pelabuhan Tanjung Ringgit terlihat jelas. Sarana rekereasi wisata bahari ini memiliki luas sekitar 2 Ha dan menjadi kawasan wisata andalan Palopo.
Desa Wisata Latuppa
Desa Latuppa terletak di Kecamatan Wara. Di desa ini, terdapat aliran sungai yang tidak pernah kering. Ditambah lagi, kekayaan alam di sekitarnya dengan berbagai macam buah-buahan. Biasanya, pada musim buah-buahan, masyarakat Palopo dan wisatawan dari luar mengunjungi daerah ini dan menikmati wisata alam sambil mandi di sungai sembari menikmati buah durian, rambutan dan langsat. Di kawasan ini, juga terdapat air terjun Latuppa yang menjadi lokasi wisata favorit bagi para remaja dan masyarakat umum.
Pulau Libukang
Pulau ini bisa ditempuh kurang lebih 20 Menit dari pusat kota.
pulau ini menyimpan sejuta keindahan yang eksotis. kalau tidak percaya, datang aja.
Permandian Alam Bambalu
terletak di Kelurahan Battang Barat (daerah pegunungan), permandian ini sangat diminati oleh para wisatawan Nasional maupun Internasional karena keindahannya.
Sumber : Berbagai sumber
Luwu Raya merupakan daerah yang begitu menarik, mengapa demikian ?
Daerah Luwu Raya merupakan salah satu wilayah yang cukup menarik
di provinsi Sulawesi selatan, dimana terdapat banyak lokasi yang
mnejadi objek wisata bagi pelancong maupun wisatawan manca Negara yang
ingin berkunjung kesana. Ada banyak lokasi yang bias di jadikan
referensi sebagai objek Pariwisata seperti Buntu Matabing, Sungai
Latuppa, Permandian Meli, Pantai Lemo dan Danau Matano dan juga Pantai Labombo.
Dengan banyaknya objek wisata yang hadir di daerah Luwu Raya membuat mesti banyak biaya untuk menjaga dan merawat lokasi-lokasi pariwisata yang ada.
Dan salah satu hal yang akan dibahas kali ini adalah objek wisata Pantai Labombo Kota Palopo. Menurut hasil wawancara dengan pengelola tempat tersebut adalah yakni bapak Markus Saru’ Allo atau lebih akrab disapa Pak Max, tempat ini telah mulai di buka sebagai objek wisata sekitar tahun 2006. Namun mulai di kelola secara baik pada Maret 2009 oleh MAX Production pada tahun 2010 awal.
Dan salah satu hal yang akan dibahas kali ini adalah objek wisata Pantai Labombo Kota Palopo. Menurut hasil wawancara dengan pengelola tempat tersebut adalah yakni bapak Markus Saru’ Allo atau lebih akrab disapa Pak Max, tempat ini telah mulai di buka sebagai objek wisata sekitar tahun 2006. Namun mulai di kelola secara baik pada Maret 2009 oleh MAX Production pada tahun 2010 awal.
Pembangunannya dimulai dengan merehabilitasi
lokasi pantai yang sebelumnya terserang abrasi pantai, dengan
pembangunan tanggul yang menjadi penangkal ombak. Yang kemudian
dillanjutkan pada tahun berikutnya dengan pembangunan wahana seperti
Flying Fox, Outbound, dan juga pembangunan taman bermain dan alat-alat
pembantu yang lain seperti bebek-bebek.
Sumber : Wisata Kompasiana
PACCO Makanan Khas Palopo yang Terbuat dari Olahan Ikan Mentah, warga palopo percaya dapat menambah Stamina.
Olahan Ikan mentah inipun bisa dibuat menjadi menu makanan khas daerah seperti yang ada di kota palopo sulawesi selatan. Olahan Ikan bandeng mentah menjadi salah satu oleh-oleh khas yang bisa anda bawa pulang saat berkunjung ke kota PALOPO.
Menu olahan Ikan mentah tidak hanya harus dimasak untuk dikomsumsi melainkan Ikan mentah pun bisa diolah menjadi menu makanan khas daerah.
Di jalan haji hasan kel amassangang kecamatan lara kota palopo sulawesi selatan menu olahan Ikan mentah dapat dijadIkan kuliner khas palopo seperti Pacco. Proses mengolah Ikan mentah pun tak serumit yang dibayangkan dan membutuhkan bumbu tersendiri seperti buah patikala buah kecapi jeruk nipis lombok biji kacang goreng dan pastinya Ikan bandeng mentah.
Cara membuatnya : Daging Ikan terlebih dahulu dipisahkan dari tulang dan kepala sehingga dipotong sesuai keinginan.
Dan direndam dengan campuran cuka serta patikala untuk menghilangkan rasa amis dan menambahkan bumbu seperti lombok kacang buah kecapi serta kacang yang sudah diolah menjadi satu.selain itu tambahan dange untuk menambah masakan agar terasa nikmat.
Selain rasa yang kenyal Ikan mentah atau Pacco juga dapat menambah stamina serta dapat mengembalIkan energi. Tak heran jika pengunjung yang datang dari Makassar ke kota palopo khusus untuk meencicipi makanan Ikan mentah ini.
Selain Ikan mentah ada juga makanan khas yakni kapurung yang juga berkhasiat menambah nafsu makan. Dengan harga sekitar 7 ribu per porsi anda sudah dapat menikmati menu khas kota palopo tersebut.
Sumber : wyn-suparno
READ MORE
Olahan Ikan mentah inipun bisa dibuat menjadi menu makanan khas daerah seperti yang ada di kota palopo sulawesi selatan. Olahan Ikan bandeng mentah menjadi salah satu oleh-oleh khas yang bisa anda bawa pulang saat berkunjung ke kota PALOPO.
Menu olahan Ikan mentah tidak hanya harus dimasak untuk dikomsumsi melainkan Ikan mentah pun bisa diolah menjadi menu makanan khas daerah.
Di jalan haji hasan kel amassangang kecamatan lara kota palopo sulawesi selatan menu olahan Ikan mentah dapat dijadIkan kuliner khas palopo seperti Pacco. Proses mengolah Ikan mentah pun tak serumit yang dibayangkan dan membutuhkan bumbu tersendiri seperti buah patikala buah kecapi jeruk nipis lombok biji kacang goreng dan pastinya Ikan bandeng mentah.
Cara membuatnya : Daging Ikan terlebih dahulu dipisahkan dari tulang dan kepala sehingga dipotong sesuai keinginan.
Dan direndam dengan campuran cuka serta patikala untuk menghilangkan rasa amis dan menambahkan bumbu seperti lombok kacang buah kecapi serta kacang yang sudah diolah menjadi satu.selain itu tambahan dange untuk menambah masakan agar terasa nikmat.
Selain rasa yang kenyal Ikan mentah atau Pacco juga dapat menambah stamina serta dapat mengembalIkan energi. Tak heran jika pengunjung yang datang dari Makassar ke kota palopo khusus untuk meencicipi makanan Ikan mentah ini.
Selain Ikan mentah ada juga makanan khas yakni kapurung yang juga berkhasiat menambah nafsu makan. Dengan harga sekitar 7 ribu per porsi anda sudah dapat menikmati menu khas kota palopo tersebut.
Sumber : wyn-suparno
Di setiap budaya kuliner Nusantara, selalu saja dapat kita temukan masakan berkuah dengan citarasa asam-pedas – baik yang hanya terdiri atas sayur-mayur, maupun yang dicampur protein. Di daerah Sumatra, masakan seperti ini lazimnya disebut sebagai pindang atau asam pedas. Di bagian Timur Indonesia, masakan seperti ini dikenal dengan nama kuah asam. Tingkat kepedasan dan keasamannya berbeda-beda. Begitu juga bahan-bahan yang dipakai untuk menciptakan rasa asam.
Palopo di Sulawesi juga mempunyai sajian istimewa seperti itu dengan nama parede. Bila dilihat sepintas, parede sangat mirip dengan masakan palumara yang populer di Sulawesi Selatan. Tetapi, masing-masing memiliki karakter khas yang membuatnya tetap unik. Parede maupun palumara pun sama-sama memakai protein ikan laut, seperti: ikan bandeng, kakap, lamuru, dan sebagainya. Karena kakap dan lamuru sering berukuran besar, kepala ikan dari kedua jenis ini juga populer untuk ditampilkan di meja makan sebagai parede. Bila ikannya sangat segar, rasa kuah yang dihasilkannya pun sangat segar dengan hint tipis rasa manis alamiah dari protein hewani laut.
Keistimewaan parede adalah pada kuah bening berwarna kuning-pucat dengan rasa asam-pedas yang seimbang. Rasa asamnya mempunyai spektrum yang khas karena pemakaian asam patikala dan parutan atau rajangan tipis mangga muda. Asam patikala juga “bertanggung jawab” atas aroma harum memukau yang menguar dari masakan ini. Seluruh pancaindra kita bekerja untuk meng-apresiasi hidangan sederhana ini.
Asam patikala adalah buah kecombrang atau honje yang selain memberikan rasa asam yang khas, juga menciptakan aroma harum yang sangat indah. Beberapa komunitas di Jawa Tengah dan Jawa Barat memakai asam kecombrang ini untuk membuat sayur asam. Di Bali pun jenis asam ini banyak dipakai dalam masakan tradisional. Tetapi, yang paling banyak memakainya mungkin justru orang Sumatra Utara. Masakan Melayu Deli, Batak Karo, Mandailing, dan lain-lain, banyak sekali memakai bahan ini. Di sana disebut sebagai asam cekala, asam cikala, atau asam tikala.
Parede dari Palopo tidak akan sama rasanya bila dimasak dengan asam jenis lain. Penggunaan asam patikala adalah “syarat mati” dalam menyajikan parede. Ini berbeda dengan kuah asam di Ambon, misalnya, yang bisa memakai tomi-tomi, asam mawe, bahkan lemon cui untuk menghasilkan rasa asam.
Justru karena cara memasak parede yang sangat sederhana, dan bumbu-bumbunya pun sangat minimalis, keahlian si pemasak menjadi tantangan utama. Bila tidak tepat cara memasak maupun perbandingan bumbu-bumbu yang dipakai, hambarlah citarasa sajian ini. Bayangkan, hanya dengan cabe rawit dan asam patikala saja sudah mampu tercuatkan citarasa yang sedemikian elok.
Tentu saja, parede cocok dimakan dengan nasi, dan didampingi sambal mangga muda. Tetapi, lebih istimewa lagi bila parede dimakan dengan dange – lempengan tipis sagu bakar khas Palopo. Cara makan kuah ikan dengan sagu juga khas di kawasan Timur Indonesia. Di Ternate, orang makan pupeda dengan kuah soru. Di Ambon dan Papua, orang juga suka makan papeda dengan kuah asam. Alangkah indahnya bagi orang Indonesia bila menggunakan local wisdom masa lalu yang sangat cocok dengan prinsip ketahanan pangan maupun diversikasi bahan pangan.
Sumber : detik food
Tidak lengkap rasanya kalau datang ke daerah Palopo
– Masamba kalo belum mencicipi Kapurung. Makanan kegemaran orang Luwu
ini diolah dari bahan utama sagu dicampur jantung pisang, ikan, bayam,
daun kacang dan kangkung. Pedas dan gurih mendominasi rasa masakan. Yang
unik dari kapurung adalah campuran asam patikala yang memberikan
sensasi asem-asem segar . Setiap tamu yang berkunjung ke daerah ini disuguhi
makanan khas Kapurung.Setelah mengikuti perjalanan ini , saya baru tau
kalau ternyata ada 2 jenis kapurung. Kapurung di Masamba berbeda dengan
kapurung Palopo yang saya kenal selama ini. Kapurung palopo banyak di
jual di Rumah Makan khas Palopo di Makasar. Wujudnya mirip bubur
tinutuan Menado yang full sayuran dan cacahan ikan / ayam hanya berasnya
di ganti dengan olahan sagu yg dibentuk bulat-bulat. Semuanya di campur
jadi satu dalam satu mangkok . Kapurung Palopo bumbunya di campur
dengan sedikit kacang goreng sangrai .
Bedanya kapurung Masamba dengan kapurung
Palopo adalah di cara penyajiannya. Di Masamba , adonan sagu terpisah
dengan sayur dan lauknya. Bumbunya less kacang more sambel…hehehe. Dalam
trip ini, atas petunjuk orang2 di kantor Bupati Luwu Utara, kami mampir
ke warung makan “Rahmat”yang khusus menyediakan makanan khas kapurung
Masamba. Di Masamba , kapurung mempunya nama lain yaitu Pugalu. Warungnya
kecil, berteduh di bawah pohon mangga dan dari depan sepi seperti tanpa
pengunjung padahal jam menunjukkan pukul 11.50. Mungkin karena sebentar
lagi Jum’atan …
Karena tidak ada tanda-tanda bakal muncul
yang punya warung, saya langsung masuk kedalam lurus ke dapur belakang.
Ternyata di dapur belakang kesibukan terlihat. Beberapa orang sedang
mengaduk sagu, mengulek sambel dan memetik sayuran. Terlihat juga
pembeli yang lewat pintu belakang sabar menunggu pesanan mereka . Rata-
rata bawa rantang atau termos nasi ukuran kecil. Wah, ternyata
pelanggannya pada ngumpul di dapur belakang. Si Ibu yg punya warung
tersenyum ketika saya menanyakan warungnya di depan kok ga ada yg
jagain. Kata si ibu warung pembeli biasanya memang langsung ke dapur
untuk memesan ,yang mo pesan bawa pulang langsung lewat belakang saja. Pugalu hari
itu menyediakan menu dengan lauk ikan bandeng bakar atau ayam kampung
goreng. Si Ibu merekomendasikan lauk ayam kampung saja, empuk katanya..
okelah kita cobain pake ayam kampung . Selang beberapa menit, pesanan
kami datang di iringi tatapan heran dari saya da teman-teman. Heran,
karena sayuran dan ayam di jadikan satu piring sementara sagunya di
pisah di mangkok. Biasanya yang kapurung yang kami makan semuanya di
campur dalam satu mangkuk. Isian sayur kali ini terdiri dari daun
kacang, kacang panjang, irisan rebung, mangga muda, dan jagung pipil.
Mantapss..!
Oya, di warung ini jangan sampe salah membedakan
ceret cuci tangan dan ceret air minum. Ceret cuci tangan di lengkapi
label “cuci tangan ” dan diletakkan diatas wadah penampungan air cuci
tangan. Di meja juga tersedia pisang burung-burung ( kami menyebutkannya
begitu karena bentuknya kecil-kecil mirip burung gereja) yang bisa di
makan sebage appetizer klo kelamaan nunggu pesanan atau dessert setelah
menyantap kapurung …hehehe..
Akhirnya setelah puas menghirup kapurung
..slrrrppp..sslllrrpp , di hirup lho bukan dimakan..! Ini salah satu
tips makan kapurung, jangn di kunyah langsung di telan aja , sagunya kan
licin langsung di telan meluncur ke tenggorokan ,
kami siap-siap melanjutkan perjalanan ke Belopa- kota kecamatan di
Palopo. Total kerusakan di warung Rahmat hanya 40 ribu rupiah untuk 4
porsi Kapurung ayam kampung plus semangkuk sambel plus pisang burung2
plus es batu 4 gelas ( soft drinknya bawa sendiri dari bekal logistik).
Lumayannn…
Sumber: www.Luwuraya.com
Menapaki
perjalanan panjang yang cukup melelahkan, dengan jarak tempuh sekitar
362 Km dari Kota Makassar Propinsi Sulawesi Selatan , bukanlah hal
sia-sia untuk menikmati keramahan khas sebuah kota yang menampakkan
citranya melalui bentuk Kota Tujuh Dimensi yang terletak diujung
Propinsi Sulawesi Selatan dengan luas wilayah 247,52 km2 , yang
berbatasan dengan Kabupaten Luwu dibagian Selatan dan Utara, Kabupaten
Tanah Toraja dibagian Barat dan Teluk Bone dibagian Timur.
Kota palopo juga mempunyai beberapa makanan khas. Mari kita lihat diantaranya:
Karena diPalopo ini khasnya adalah sagu, nah makanan yang berbahan dasar dari sagu muda inilah yang dinamakan kapurung, kapurung adalah sagu muda yang dicampurkan dengan air panas yang mendidih, makanan khas palopo ini sangat menyegarkan karena juga dicampurkan dengan macam2 sayuran.
Merupakan makanan tradisional masyarakat Bugis, terutama yang di daerah Luwu. Sudah menjadi santapan sehari-hari masyarakat Luwu menikmati makanan satu ini. Biasanya di acara keluarga atau acara tudang sipulung (ramah tamah) selalu dange dan makanan tradisional lain menyertai. Dange yang kaya karbohidrat tersebut merupakan makanan pokok sebagian masyarakat jaman dulu, yang kadar gulanya sangat rendah ketimbang nasi. Makanya beberapa penderita diabetes akhirnya menjadikan dange sebagai bahan terapi untuk mengurangi konsumsi nasi yang kadar gulanya cukup tinggi.Makanan ini berbahan dasar dari sagu, dibuat di atas tungku dengan menggunakan kotak yang bisa memasukkan tepung sagu sehingga terbentuk kotak-kotak tipis. Dimasak beberapa lama, sampai terlihat sudah berwarna abu-abu dan terlihat sudah melekat butiran-butiran sagunya.
Tetapi ternyata dompok itu bisa dnikmati dan diolah lagi, seperti jadi dompok goreng atau juga bisa dicampur dengan kolak.
Sumber : Forum bergaul FB
READ MORE
Kota palopo juga mempunyai beberapa makanan khas. Mari kita lihat diantaranya:
1. Kapurung
Karena diPalopo ini khasnya adalah sagu, nah makanan yang berbahan dasar dari sagu muda inilah yang dinamakan kapurung, kapurung adalah sagu muda yang dicampurkan dengan air panas yang mendidih, makanan khas palopo ini sangat menyegarkan karena juga dicampurkan dengan macam2 sayuran.
2. Dange
Merupakan makanan tradisional masyarakat Bugis, terutama yang di daerah Luwu. Sudah menjadi santapan sehari-hari masyarakat Luwu menikmati makanan satu ini. Biasanya di acara keluarga atau acara tudang sipulung (ramah tamah) selalu dange dan makanan tradisional lain menyertai. Dange yang kaya karbohidrat tersebut merupakan makanan pokok sebagian masyarakat jaman dulu, yang kadar gulanya sangat rendah ketimbang nasi. Makanya beberapa penderita diabetes akhirnya menjadikan dange sebagai bahan terapi untuk mengurangi konsumsi nasi yang kadar gulanya cukup tinggi.Makanan ini berbahan dasar dari sagu, dibuat di atas tungku dengan menggunakan kotak yang bisa memasukkan tepung sagu sehingga terbentuk kotak-kotak tipis. Dimasak beberapa lama, sampai terlihat sudah berwarna abu-abu dan terlihat sudah melekat butiran-butiran sagunya.
3. Lawak Pakis
Lawak adalah makanan khas palopo yang terbuat dari sayur pakis, kelapa parut, dan bumbu dapur lainnya
4. Dempo Durian
Dompok durian
ini adalah salah satu makanan khas dari kota Palopo yang merupakan
penghasil duria, biasanya disini durian dijual per telaja, dipana 1
telaja berisi 3 buah durian yang diikat dengan tali/daun enau harganya
jika sedang murah bisa 5000/telaja. Emm makanan yang berasal dari durian
ini enak n legit banget..makanan seperti ini yang dinamakan lempok
durian atau dodol durian,Tetapi ternyata dompok itu bisa dnikmati dan diolah lagi, seperti jadi dompok goreng atau juga bisa dicampur dengan kolak.
5. Bolu Pecca
Pertama makan
ini bolu pasti kaget, dimana2 kue bolu pasti kering gitu dan lembut,
tapi bolu pecca khas bugis ini beda ama bolu yang lain karena teksturnya
lembut dan basah.
6. Parede
Parede
merupakan masakan khas palopo, ditilik lagi ini masakan mirip dengan
asam pedas khas padang atau asam keeng khas aceh, tapi orang palopo jg
punya versi yang bedaSumber : Forum bergaul FB
(Gambar Istana Datu Luwu, sumber: azharmustamin.blogspot.com)
Tidak banyak tulisan mengenai awal berkembangnya kota Palopo. Sejarah
Kota Palopo di info-palopo.com hanya mengurai dari sudut kesejarahan
administrasi. Sudut budaya-sejarah Luwu, belum dikaji lebih dalam.
Ternyata, dalam Buku “Ringkasan Sejarah Luwu: Bumi Sawerigading, Tana
Luwu Mappatuwo” yang disusun Sarita Pawiloy, secara sederhana diuraikan
awal berkembangnya Kota Palopo. Palopo berkembang di awal-awal kerajaan
Islam Luwu tumbuh. Ketika itu Raja Luwu La Patiware Sultan Muhammad
wafat dan digantikan anak mattola kedua(putera mahkota kedua),
Patipasaung (1615-1637). Berdasarkan adat Luwu, anak mattola urutan
pertama adalah Patiraja. Namun karena karakternya yang tidak terlalu
disukai oleh kalangan bangsawan Islam (yang pada saat itu Islam adalah
spirit Kerajaan Luwu), maka Patiraja tidak dipilih menjadi raja.Terangkatnya adik Patiraja (Patipasaung) menjadi raja menimbulkan gejolak dalam Istana Luwu di Pattimang, Malangke. Beberapa petinggi istana yang mendukung Patiraja menolak keputusan adat yang menaikkan anak mattola kedua. Akhirnya Patiraja meninggalkan Pattimang dan hijrah ke Kamanre (eks pusat Kerajaan Luwu masa Dewaraja yang berkuasa sekitar 1530). Di Kamanre, Patiraja mengumumkan dirinya sebagai Datu Luwu dan diterima oleh seluruh Kemadikaan Ponrang (Cilellang, Bajo, Noling hingga Larompong). Dengan demikian, pada saat itu, ada dua pusat kerajaan Luwu (Ware’), yaitu yang pertama Luwu wilayah pengaruh Malangke (Baebunta hingga Poso), yang kedua Luwu wilayah pengaruh Ponrang (berpusat di Kamanre) meliputi Bajo, Ranteballa, Larompong sampai Akkotongeng. Sedangkan Kemadikaan Bua (meliputi Kolaka, Luwu Tenggara dan pula Palopo/Libukang) netral. Palopo kala itu merupakan perkampungan nelayan yang berpusat di Libukang.
Pada tahun 1616, perang saudara Luwu versi
Pattimang versus Luwu versi Kamanre pecah. Perang ini terjadi selama
kurang lebih 4 tahun, yang kemudian dikenal dengan Perang antara Utara
dan Selatan. Hingga pada 1619, Maddika Bua berinisiatif untuk mencari
solusi atas fenomena ini. Maka pada saat panen raya di Bua, Patiraja dan
Patipasaung diundang oleh Maddika Bua. Mereka dibuatkan Baruga dengan 2
pintu masuk (utara-selatan). Pintu utara akan dimasuki oleh
Patipasaung, dan pintu selatan oleh Patiraja. Mereka dipertemukan oleh
Maddika Bua di ruang tengah baruga. Mereka kaget, lebih-lebih pada saat
keduanya diserahi badik oleh Maddika Bua. Di ruang tersebut, hadir pula
Madika Ponrang dan Makole Baebunta, yang kemudian oleh Madika Bua,
beliau mempersilahkan Patipasaung dan Patiraja untuk bertarung. Madika
Bua berkata “Wahai kedua junjungan kami, sudah tahunan rakyat saling
membunuh, janda telah banyak, anak yatim sudah tidak terbilang lagi. Ini
adalah akibat Luwu diperintah dua raja. Kami hanya menghendaki
seorang”.
Pada saat itu, Patiraja insyaf. Ia berkata
kepada Patipasaung “Wahai adikku. Engkaulah yang disukai oleh orang
banyak. Aku ini, abangmu telah hanyut dalam gelora nafsu kekuasaan. Aku
khilaf. Sebagian rakyat telah aku ikutkan dalam diriku. Terimalah badik
ini, dan terima pula penduduk Kamanre seluruhnya ke dalam Luwu yang
damai, tenteram dan sejahtera. Biarlah aku abangmu kembali ke Gowa di
mana kita dilahirkan. Siapa tahu, Dewata Allah Taala menerima diriku di
tanah leluhur kita”..
Inilah peristiwa yang kemudian menyatukan kembali Luwu. Patipasaung
kemudian memindahkan Ware’ ke Palopo yang termasuk wilayah Bua. Ia
kemudian pula mengukuhkan ‘anak telluE’ sebagai pilar utama Luwu.
Patipasaung menata struktur pemerintahan Luwu, dimana kadhi berperan
penting. Perpindahan pusat kerjaan Luwu ke Palopo dilanjutkan dengan
pendirian Masjid Jami’. Masjid Jami’ yang dibangun 1619 kemudian
dinyatakan oleh masyarakat Luwu sebagai pusat Palopo, bahkan posi’ tana,
dan Ka’bah di Mekkah sebagai palisu tana. Arsitektur Kota Palopo ditata
dengan pendekatan agar suasana ‘marowa’ tercipta. Empat puluh depa dari
masjid dibangun pasar. Istana kediaman Datu juga 40 depa dari masjid.
Jarak pasar dengan istana sekitar 80 depa. Dan antara ketiga bangunan
itu adalah lapangan (di tengah). Arsitektur kota serupa kemudian
dianjurkan di setiap wilayah kampung-kampung di Luwu. Demikianlah,
Palopo kemudian menjadi pusat kerajaan Luwu hingga penjajah datang.
Sejak pindahnya pusat kedatuan ke Palopo, sejak itu
pula Palopo menjadi barometer perkembangan Luwu. Masyarakatnya bangga
menjadi To Ware. Pada tahun 1900, penduduk kota Palopo
berjumlah sekitar 12.000 jiwa dari keseluruhan penduduk Luwu yang kurang
lebih berjumlah 400.000 jiwa (termasuk Poso dan Kolaka). Palopo terdiri
atas Kampung Tappong (kampung paling ramai dengan 120 rumah),
Mangarabombang, PonjalaE (100 rumah), Campa, Bone, Parumpang,
Amassangeng, Surutanga, Pajalesang, Bola Sada, Batupasi, Binturu (7
rumah), Tompotikka, WaruE, Songka, Penggoli, Luminda, Kampong Beru,
Balandai (7 rumah), Rampuang dan Pulau Libukang. Pada masa itu, Latana datu Luwu, Andi Kambo adalah rumah panggung kayu bertiang 88 buah (LangkanaE). Bangunan
itu dirobohkan oleh Belanda, dan digantikan dengan bangunan
berarsitektur eropa pada tahun 1920 (hampir bersamaan dengan Rumah
Sakit).
Sumber :zulhamhafid.wordpress.com
Kota Palopo, dahulu disebut Kota Administratip (Kotip ) Palopo, merupakan Ibu Kota Kabupaten Luwu yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah ( PP ) Nomor Tahun 42 Tahun 1986. Seiring dengan perkembangan zaman, tatkala gaung reformasi bergulir dan melahirkan UU No. 22 Tahun 1999 dan PP 129 Tahun 2000, telah membuka peluang bagi Kota Administratif di Seluruh Indonesia yang telah memenuhi sejumlah persyaratan untuk dapat ditingkatkan statusnya menjadi sebuah daerah otonom.
Ide peningkatan status Kotip Palopo menjadi daerah otonom , bergulir
melalui aspirasi masyarakat yang menginginkan peningkatan status kala
itu, yang ditandai dengan lahirnya beberapa dukungan peningkatan status
Kotip Palopo menjadi Daerah Otonom Kota Palopo dari beberapa unsur
kelembagaan penguat seperti :
1). Surat Bupati Luwu No. 135/09/TAPEM Tanggal 9 Januari 2001, Tentang
Usul Peningkatan Status Kotip Palopo menjadi Kota Palopo.
2).Keputusan
DPRD Kabupaten Luwu No. 55 Tahun 2000 Tanggal 7 September 2000, tentang
Persetujuan Pemekaran/Peningkatan Status Kotip Palopo menjadi Kota
Otonomi,
3). Surat Gubernur Propinsi Sulawesi Selatan No. 135/922/OTODA
tanggal 30 Maret 2001 Tentang Usul Pembentukan Kotip Palopo menjadi Kota
Palopo
4). Keputusan DPRD Propinsi Sulawesi Selatan No. 41/III/2001
tanggal 29 Maret 2001 Tentang Persetujuan Pembentukan Kotip Palopo
menjadi Kota Palopo;
Hasil Seminar Kota Administratip Palopo Menjadi Kota Palopo; Surat dan
dukungan Organisasi Masyarakat, Oraganisasi Politik, Organisasi Pemuda,
Organisasi Wanita dan Organisasi Profesi; Pula di barengi oleh Aksi
Bersama LSM Kabupaten Luwu memperjuangkan Kotip Palopo menjadi Kota
Palopo, kemudian dilanjutkan oleh Forum Peduli Kota.
Akhirnya, setelah Pemerintah Pusat melalui
Depdagri meninjau kelengkapan administrasi serta melihat sisi potensi,
kondisi wilayah dan letak geografis Kotip Palopo yang berada pada Jalur
Trans Sulawesi dan sebagai pusat pelayanan jasa perdagangan terhadap
beberapa kabupaten yang meliputi Kabupaten Luwu, Luwu Utara, Tana
Toraja dan Kabupaten Wajo serta didukung dengan sarana dan prasarana
yang memadai, Kotip Palopo kemudian ditingkatkan statusnya menjadi
Daerah Otonom Kota Palopo
Tanggal 2 Juli 2002, merupakan salah satu tonggak sejarah perjuangan
pembangunan Kota Palopo, dengan di tanda tanganinya prasasti pengakuan
atas daerah otonom Kota Palopo oleh Bapak Menteri Dalam Negeri Republik
Indonesia , berdasarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2002 tentang
Pembentukan Daerah Otonom Kota Palopo dan Kabupaten Mamasa Provinsii
Sulawesi Selatan , yang akhirnya menjadi sebuah Daerah Otonom, dengan
bentuk dan model pemerintahan serta letak wilayah geografis tersendiri,
berpisah dari induknya yakni Kabupaten Luwu.
Diawal terbentuknya sebagai daerah otonom, Kota Palopo hanya memiliki 4
Wilayah Kecamatan yang meliputi 19 Kelurahan dan 9 Desa. Namun seiring
dengan perkembangan dinamika Kota Palopo dalam segala bidang sehingga
untuk mendekatkan pelayanan pelayanan pemerintahan kepada masyarakat ,
maka pada tahun 2006 wilayah kecamatan di Kota Palopo kemudian
dimekarkan menjadi 9 Kecamatan dan 48 Kelurahan.
Kota Palopo dinakhodai pertama kali oleh Bapak Drs. H.P.A. Tenriadjeng,
Msi, yang di beri amanah sebagai penjabat Walikota (Caretaker) kala itu,
mengawali pembangunan Kota Palopo selama kurun waktu satu tahun ,
hingga kemudian dipilih sebagai Walikota defenitif oleh Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Kota Palopo untuk memimpin Kota Palopo Periode 2003-2008,
yang sekaligus mencatatkan dirinya selaku Walikota pertama di Kota
Palopo.
Sumber : Palopo Kota